Partisipasi publik merupakan elemen penting dalam negara yang menganut asas demokrasi. Sayangnya, pembungkaman terhadap partisipasi dan suara publik masih sering ditemui di era ini. Menanggapi masalah tersebut, Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum., Hakim Agung Mahkamah Agung RI merilis buku “Kebijakan Anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) dan Lingkungan Hidup” dalam Seminar Nasional Fakultas Hukum UGM pada Jumat (26/1) lalu.
SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) adalah gugatan atau laporan yang dilakukan oleh pihak yang lebih kuat, seperti korporasi, pejabat publik, atau pelaku bisnis dengan tujuan menghentikan partisipasi publik (individu atau organisasi non-pemerintah). Kasus SLAPP banyak terjadi dalam isu-isu lingkungan yang menyasar para aktivis. Data menyebutkan, sebanyak 174 aktivis, 940 petani, dan 120 individu yang dikriminalisasi atas partisipasi dalam kasus terkait lingkungan. Angka tersebut terbilang cukup mengkhawatirkan karena konflik antara pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah seringkali sulit diselesaikan.
“Saya menulis Anti-SLAPP karena saya melihat bahwa para hakim terutama ketika menangani kasus-kasus SLAPP belum begitu paham apa yang harus dilakukan, Tidak ada hukum acara yang mengaturnya, dan belum ada tulisan yang apple to apple. Sebenarnya Indonesia juga mengatur pada Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, tapi tidak jelas bagaimana caranya,” tutur Nani. Kebingungan ini belum juga terselesaikan hingga menyebabkan penyelesaian kasus kurang optimal. Padahal, hak atas pengelolaan lingkungan hidup dan partisipasi masyarakat sangat dijamin oleh konstitusi.
Nani menjelaskan, kebijakan SLAPP telah diberlakukan di Amerika dan tidak hanya seputar lingkungan hidup. Negara memiliki jaminan bagi masyarakat yang digugat oleh pihak lain karena menyatakan pendapatnya. Kebijakan SLAPP mengatur seluruh hukum acara pemeriksaan perkara SLAPP, mulai dari definisi SLAPP, langkah-langkah yang harus ditempuh, serta batas waktu penyelesaian perkara yang terindikasi SLAPP. Modus yang banyak dilakukan oleh penggugat kasus SLAPP adalah pembungkaman partisipasi untuk menimbulkan rasa takut, sehingga pihak tergugat akan berhenti mengkritik/berpartisipasi.
“Banyaknya kasus SLAPP yang muncul, itu ternyata memang karena adanya kasus yang melanggar hukum. Jadi di situ celahnya yang kemudian digunakan oleh pihak yang ingin membungkam. Ini menjadi sangat problematis dan dilematis. Ketika mereka (masyarakat) sudah mengungkapkan situasi lingkungan yang tidak baik dan sehat terhadap kehidupan mereka sehari-hari, dan tidak mendapat respon, maka mereka masuk dalam situasi psikologis yang putus asa dan menyebabkan tindakan melanggar hukum,” terang Dosen Departemen Hukum Lingkungan FH UGM, Dr. Totok Dwi Diantoro, S.H., M.A., LL.M.
Kondisi tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang lebih berkuasa untuk semakin menekan partisipasi masyarakat. Padahal sejak awal, konflik memberikan gambaran tidak seimbang dalam posisi pihak superior dibanding masyarakat. Pihak superior seperti korporasi, pejabat, dan pelaku bisnis umumnya memiliki situasi menguntungkan dengan pengetahuan hukum yang jauh lebih matang. Sedangkan dalam berbagai kasus, masyarakat atau pihak yang digugat umumnya tidak memiliki kekuatan hukum atau kemampuan hukum yang setara sehingga memerlukan bantuan pihak lain. Inilah yang menyebabkan konflik seputar partisipasi publik semakin berkepanjangan. Adanya kebijakan Anti-SLAPP diharapkan mampu memberikan perlindungan lebih pada masyarakat dalam hak partisipasinya.
Penulis: Tasya