Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, per bulan November 2023 produksi batu bara mengalami kenaikan hingga 627,24 juta ton. Pemerintah berencana mengekspor produksi batu bara tersebut di tengah merosotnya harga pasar batu bara. Apalagi jenis batu bara yang diproduksi di Indonesia masih tergolong berkalori rendah dan dengan nilai jual yang rendah pula.
Tim peneliti dari Fakultas Teknik UGM berhasil menyulap senyawa batu bara dari Peranap, Riau yang berkalori rendah menjadi produk asam humat yang bernilai jual tinggi. Asam humat merupakan salah satu dari tiga komponen penyusun humus, atau tanah yang memiliki tingkat kesuburan tinggi. Asam humat umumnya didapatkan hanya dari ekstraksi pelapukan bahan organik dalam humus. Namun ternyata, hasil penelitian Prof. Dr. Ferian Anggara dan tim berhasil menemukan senyawa pembentuk asam humat dari hasil pengolahan batu bara berkalori rendah. Asam humat yang didapatkan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesuburan tanah bagi tumbuhan.
Riset Ferian mengungkapkan, ekstraksi satu ton batu bara Peranap mampu menghasilkan 50% asam humat atau setara dengan 500 kilogram. Proses pengolahan batu bara dari grinding, ekstraksi, hingga drying mampu menghasilkan beberapa produk humat. Produk pertama asam humat didapatkan kadar 45,12% dry basis dan kadar air sebesar 11,65%. Lalu produk samping yang juga didapatkan berupa asam fulvat cair dan briket. Dengan begitu, sisa pengolahan juga dapat berupa batu bara dengan jumlah kalori yang signifikan.
“Perlu ditekankan, asam humat ini bukan pupuk. Ketika proses pemupukan terjadi secara masif, maka tanah itu cenderung akan keras nantinya. Artinya tidak hanya pupuk yang dibutuhkan oleh tanah, tapi juga pembenah tanah dalam hal ini humus, dan asam humat ini adalah humusnya. Dia memberikan unsur karbon yang nantinya akan memberi banyak fungsi,” ucap Ferian. Manfaat asam humat dalam humus bagi lahan media tanam antara lain adalah meningkatkan penyerapan unsur hara, retensi air, dan meningkatkan kapasitas pertukaran kation. Tak hanya itu, ketika tanah sudah menjadi keras dan jenuh, asam humat mampu memberikan kemampuan permeabilitas untuk mengeluarkan senyawa yang tidak dibutuhkan.
“Jadi tanah itu nantinya tidak menjadi keras, tapi dia memiliki kegemburan tertentu. Jadi penetrasi udara, penetrasi karbon itu nantinya bisa ada di situ sebagai satu simbiosis untuk akhirnya tanaman bisa bertumbuh dengan baik,” tambah Ferian. Potensi pasar asam humat diperkirakan bisa memenuhi kebutuhan 50 juta hektare lahan, dan akan terus bertumbuh. Meskipun belum sepenuhnya terealisasikan, jumlah ini sangat realistis dengan menghitung lahan produktif di Indonesia serta total produksi asam humat per tahun. Diperkirakan angka produksi asam humat dari batu bara, khususnya batu bara Peranap mencapai 400.000 ton per tahun.
Hasil penelitian yang dipresentasikan pada Selasa (19/12) tersebut memberikan gambaran potensi yang cukup menjanjikan. Selain itu, program ini juga sejalan dengan Program Peningkatan Nilai Tambah (PNT) batu bara yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang pengembangan dan pemanfaatan batu bara. Inisiasi ini mendorong kembali upaya untuk menyelamatkan industri batu bara yang akhir-akhir ini melandai akibat agenda transisi energi ke sumber energi yang ramah lingkungan. PT. Bukit Asam selaku pemilik IUP Peranap mengaku kesulitan menjual batu bara di tengah jumlah produksi yang justru meningkat.
“Semuanya ini terjalin karena memang perlu kerja sama. Kerja sama yang sudah terjalin antara pemerintah, lembaga penelitian, dan industri. Industri penghasil asam humat, dan harapannya tidak berhenti di sini saja. Semoga nantinya bisa benar-benar terealisasi dan memberikan dampak untuk industri agro dan produk-produk di luar negeri juga,” tutup Ferian.
Penulis: Tasya