Selama dua puluh tahun terakhir aturan soal Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia (KBB) makin menguat dengan dimasukkannya istilah tersebut dalam konstitusi pada amandemen UUD 1945 pada tahun 2000. Namun, dalam prakteknya masih banyak kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran KBB belum mengedepankan praktek mediasi dan pemenuhan hak pihak yang terlanggar. Oleh karena itu, resolusi konflik harus dikedepankan dalam membangun relasi sosial antar kelompok.
Hal itu mengemuka dalam Diskusi Buku Mengelola Konflik, Memajukan Kebebasan Beragama, Rabu (10/1) ruang Auditorium Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM. Kegiatan yang diselenggarakan oleh Sekolah Pascasarjana UGM ini menghadirkan penulis buku sekaligus pengelola Program Studi Agama dan Lintas Budaya SPs UGM, Dr. Zainal Abidin, Dosen Hubungan Internasional Fisipol UGM, Dr. Dr. Diah Kusumaningrum, Anggota LBH Yogyakarta, Kharisma W. Kusuma dan Komisioner Komnas HAM, Uli P. Sihombing.
Zainal Abidin Bagir mengatakan advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dalam dua dasawarsa makin menguat setelah ada amandemen UUD 1945 pada tahun 2000. Namun, sepanjang dua puluh tahun, advokasi KBB dilakukan dengan munculnya kasus penyerangan jemaat Ahmadiyah, kasus parung dan kasus Lia Eden pada tahun 2005. Lalu, tahun 2006 muncul kasus pendirian rumah ibadah jemaat Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Bogor. Disusul insiden Monas tahun 2008 dan konflik Syiah di Sampang Madura tahun 2012 serta pelarangan HTI tahun 2017. Dari berbagai kasus konflik beragama tersebut, Zainal Abidin Bagir lebih menyoroti soal kasus GKI Yasmin yang proses penyelesaiannya menelan waktu hingga 15 tahun. “Gereja GKI Yasmin memakan waktu lama hingga 15 tahun,” katanya.
Penyelesaian GKI Yasmin menurut Zainal bisa dituntaskan saat walikota Bogor, Bima Arya, tahun 2023 lalu melakukan proses relokasi pemindahan lokasi pembangunan gereja yang berjarak 1 kilometer dari lokasi awal. Menurutnya, relokasi bukanlah menjadi contoh yang baik dalam pengambilan keputusan penyelesaian konflik KBB. “Model penyelesaiaan yang mengharuskan relokasi untuk menjadi sebuah pilihan jangan sampai terulang kembali. Resolusi konflik harus diselesaikan dalam rangka membangun relasi antar kelompok,” ujarnya.
Berlarutnya kasus ini menurut Zainal disebabkan karena tidak terbangunnya proses mediasi dan relasi antar kelompok. Sebaliknya antar kelompok saling menggugat secara legal formal ke pengadilan sehingga tidak pernah mencapai titik temu. “Jika sejak awal dilakukan upaya sungguh-sungguh mendekati semua pihak maka tidak akan tertunda hingga 15 tahun. Seharusnya diselesaikan lebih awal dengan mediasi dan negosiasi, resolusi untuk memenuhi hak semua kelompok agar tidak memilih saling gugat dan sebagainya,” katanya.
Sementara Dr. Diah Kusumaningrum menuturkan selama manusia hidup bersama maka selama itu pula konflik akan selalu muncul. Namun begitu, konflik seharusnya bisa menjadi lebih produktif apabila bisa menjadi alat pendorong keadilan sosial. Sebaliknya konflik akan menjadi destruktif jika pendekatannya selalu menggunakan pendekatan kekuasaan dan kekerasan.
Menurutnya, pendekatan yang dipilih sebaiknya paling sedikit mudharatnya dan mengedepankan prinsip keadilan sosial yang berkaitan dengan interdependensi kelompok agama dan kepercayaan serta keterampilan masyarakat dalam menghargai perbedaan dan keragaman. “Keterampilan itu hanya dapat berkembang dengan latihan dan refleksi secara berulang,” katanya.
Kharisma W.Kusuma dari LBH Yogyakarta mengatakan proses relokasi pada kasus GKI Yasmin bisa dianggap untuk menormalisasi konflik, namun kebijakan tersebut menurutnya justru mempertahankan praktek intoleransi di tengah masyarakat. Di Yogyakarta, kata Kharisma, ia kerap menemukan kasus yang sama dimana kelompok minoritas mengalami tekanan dan intimidasi dari kelompok mayoritas. “Berbeda dengan saat pendirian gereja di Ngentak, Sleman, justru warga sekitar saling gotong royong membangun gereja dan masjid dimana pihak yang berkonflik dan perwakilan negara saling membangun hubungan,” pungkasnya.
Penulis : Gusti Grehenson