
Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada (BEM-KM UGM) menggelar aksi simbolik dan diskusi bersama soal program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Bunderan UGM, Rabu (24/9). Dalam aksinya, BEM-KM UGM menyoroti program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dinilai bermasalah karena telah menimbulkan kasus keracunan pada 6.542 anak di berbagai daerah.
BEM-KM UGM menilai program MBG melanggar hak asasi manusia karena merampas hak anak-anak atas pendidikan. Hal ini merujuk pada alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, di mana 20 persen anggaran wajib pendidikan justru terpangkas hingga 44 persen untuk mendanai MBG. Dari total Rp 757,3 miliar yang semestinya dialokasikan ke sektor pendidikan, sebagian besar dialihkan untuk program tersebut. “Ini bentuk pengkhianatan konstitusi. Konstitusi jelas mengamanatkan 20 persen APBN untuk pendidikan, tetapi MBG justru menggerusnya. Jika Presiden tidak menghentikan atau mengevaluasi total program ini, maka semakin banyak anak Indonesia yang berisiko menjadi korban,” kata Presiden BEM-KM UGM Tiyo Ardianto,
Melalui aksi ini, BEM-KM UGM mendesak pemerintah untuk segera melakukan evaluasi total terhadap program MBG. Mereka menekankan bahwa pengawasan yang ketat merupakan syarat mutlak agar tidak ada lagi korban keracunan. Tanpa pengawasan yang benar, kata Tiyo, MBG hanya akan menambah daftar panjang pelanggaran HAM. Ia juga menekankan bahwa Presiden harus mengevaluasi program ini secara menyeluruh karena telah mengancam kesehatan anak-anak Indonesia.
Selain isu MBG, BEM-KM UGM juga menyoroti pernyataan Presiden Prabowo terkait konflik Palestina. Dalam pidatonya, Presiden menyebut solusi dua negara (two-state solution) sebagai jalan keluar konflik Israel-Palestina. Bagi BEM-KM UGM, pernyataan tersebut dinilai bertentangan dengan amanat konstitusi dan sejarah keberpihakan bangsa Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina. “Sikap kita atas segala penjajahan di dunia adalah melawan itu. Kita tidak menerima apapun penjajahan bentuknya di dunia. Maka solusi dua negara adalah pengkhianatan atas konstitusi. Karena sikap yang seharusnya disampaikan oleh Presiden adalah menerjemahkan, mengartikulasikan keinginan bangsa Indonesia yang selaras dengan konstitusi,” tegas Tiyo.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Jesi