Modernisasi mengubah gaya hidup manusia, dan meningkatkan berbagai macam permasalahan kesehatan salah satu diantaranya peningkatan insidensi kanker. Dengan memahami secara lebih mendalam protein-protein yang terlibat dalam proses perkembangan kanker, para peneliti dapat merancang obat yang dapat menarget sel kanker dengan lebih akurat tanpa merusak sel sehat di sekitarnya.
Perkembangan teknologi dan revolusi industri 4.0 telah membuka pintu bagi terobosan baru dalam pengembangan agen antikanker yang lebih efektif dan tertarget. Mengingat banyaknya protein yang terlibat di dalam regulasi dan progresi sel kanker maka dalam mengidentifikasi protein yang akan dipergunakan sudah seharusnya menggunakan big data dan bioinformatika.
Menurut Prof. Dr. apt. Adam Hermawan, S.Farm., M.Sc, kemajuan terkini dalam teknologi dan meningkatnya ketersediaan big data memberi peluang untuk mengatasi permasalahan pada penemuan obat. Big data dalam penemuan obat adalah kumpulan sumber biologis, kimia, farmakologi, dan klinis, dan dalam proses penemuan obat, big data ini dapat diterapkan mulai dari validasi target hingga uji klinis tahap akhir.
“Pada kesempatan kali ini, saya hanya akan berfokus pada aplikasi big data dalam penemuan protein target antikanker”, ujarnya di Balai Senat UGM, Kamis (21/11) mengawali pidato saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Ilmu Rekayasa Makromolekul Fakultas Farmasi UGM.
Mengucap pidato pengukuhan Pemanfaatan Big Data dan Bioinformatika Terintegrasi pada Identifikasi Protein Target Dalam Pengembangan Agen Antikanker, Adam Hermawan menyampaikan analisis big data menggunakan Artificial Intelligence (AI), Machine Learning (ML) dan bioinformatika terintegrasi untuk pemilihan biomarker, identifikasi target protein, pemilihan kandidat obat, dan prediksi sensitivitas obat telah dilakukan dalam lima tahun terakhir. Bahkan penggunaan AI saat ini telah berhasil dalam menemukan obat, dan mempercepat uji klinik fase I dan fase II. “Penggunaan AI telah dimanfaatkan untuk beberapa tujuan diantaranya menemukan protein target obat, mendesain small molecule baru, serta mendesain vaksin, dan lebih 50 persen dari AI-discovered molecules yang telah diuji klinik fase I adalah antikanker”, terangnya.
Adam Hermawan pun menjelaskan tingkat keberhasilan uji klinik fase I dari AI-derived molecules mencapai 80-90 persen. Hal ini disebabkan oleh well-validated biological targets dan pathway pada AI-derived molecules sehingga dapat menurunkan toksisitas obat yang didesain.
Pada uji klinik fase II, katanya, tingkat keberhasilan AI-dicovered molecule hanya mencapai 40 persen, karena uji klinik fase II ini merupakan tahapan untuk membuktikan konsep dan mekanisme biologis yang sebelumnya telah disarankan oleh AI terkait disease-relevant targets dan jalur persinyalannya. “Dengan terus berkembangnya AI, tingkat kesuksesan uji klinik dari AI-discovered molecule diharapkan akan terus meningkat sehingga memungkinkan pengembangan obat yang lebih efektif”, pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto