Pelaksanaan Pemilu 2024 disambut antusias oleh masyarakat. Sejak akhir tahun lalu, publik telah memperlihatkan dinamika yang menarik untuk diamati. Selain kampanye ketiga pasangan calon, debat capres cawapres juga menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Berlangsung sebanyak lima kali, debat capres cawapres digelar oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai salah satu cara agar masyarakat bisa menentukan pilihannya. Dosen sekaligus pengamat politik UGM, Dr.rer.pol. Mada Sukmajati, S.IP., M.PP., turut memberikan tanggapannya setelah diundang sebagai salah satu panelis dalam debat tersebut.
“Salah satu indikator untuk mengukur keberhasilan sebuah forum debat itu adalah ketika forum debat itu kemudian mendorong perdebatan berikutnya setelah forum itu diselenggarakan. Menurut saya kalau kita nilai debat satu, dua, tiga, saya kira capaian adanya debat publik itu sudah ada. Jadi ini menunjukkan bahwa meskipun desainnya sangat terbatas karena sudah diatur oleh undang-undang Pemilu, itu tidak kemudian menimbulkan tidak adanya perdebatan publik,” tutur Mada. Menurutnya, setiap putaran debat telah menghasilkan respons publik yang menarik. Selain itu, visi misi dan program yang dielaborasipun ternyata tersampaikan dengan baik dan diingat oleh publik.
Kendati demikian, debat capres cawapres tetaplah merupakan forum formal terbatas yang tidak bisa sepenuhnya menjadi acuan bagi masyarakat. Pelaksanaan kampanye, elaborasi program secara di luar sesi debat, bahkan track record setiap pasangan calon juga perlu menjadi petrimbangan. Inilah mengapa perdebatan publik lanjutan perlu terjadi. Mada juga menambahkan, survei tahun lalu tentang pengaruh pelaksanaan debat ini ternyata hanya memengaruhi sekitar 10-15% pilihan masyarakat. Namun berbeda dengan pelaksanaan pemilu sebelumnya, perkembangan teknologi informasi membuat dampak debat capres cawapres ini jauh lebih luas.
“Ada konten-konten dari debat yang direproduksi oleh baik para pendukung, non pendukung, maupun mereka yang masih belum menentukan pilihannya, melalui media sosial yang mereka miliki. Tentu saja itu bisa memengaruhi perubahan perilaku memilih. Terutama jika kita bicara Pemilu 2024 terjadi pada mereka yang dikategorikan sebagai undicided voters (pemilih yang belum pasti menentukan pilihannya), yang jumlahnya sekitar 30%. Angka yang tidak sedikit, sehingga saya kira mungkin perlu melihat dulu datanya sejauh mana,” ungkap Mada. Dampak signifikan dari adanya media sosial terbukti mampu menarik perhatian publik akan kontestasi pemilu tahun ini.
Sayangnya, konten media sosial yang juga dimanfaatkan sebagai sarana kampanye menjadi sasaran empuk untuk perkembangan hoaks dan misinformasi. Masifnya paparan konten seringkali membuat publik bingung dan terbawa arus media tanpa tahu kebenarannya. Untuk itu, pelaksanaan debat capres memiliki posisi yang penting dalam menjadi agen informasi pertama bagi masyarakat. Sebagai salah satu panelis debat capres cawapres, Mada memaparkan beberapa evaluasi bagi KPU untuk melaksanakan debat-debat selanjutnya.
“Ada beberapa evaluasi, ya. Pertama, misalnya pendukung. Saya kira ini juga terjadi di debat pilpres sebelumnya, pendukung ini seringkali mengganggu proses perdebatan dan mungkin KPU bisa meminta sekali lagi komitmen dari para pendukung paslon ini. Kedua mungkin peran moderator yang tidak sekedar menjadi time keeper, tapi juga mendorong para kandidat untuk bisa mengoptimalkan waktu yang tersedia,” papar Mada. Waktu seringkali menjadi hambatan dalam menjelaskan gagasan para kandidat, sayangnya beberapa kali terlihat kandidat tidak memanfaatkan waktu secara maksimal.
Selain desain debat capres cawapres, evaluasi juga perlu dilakukan oleh peserta pemilu itu sendiri, baik masyarakat maupun ketiga paslon dapat lebih bijak memaknai ajang perdebatan ini. Mada Sukmajati juga mengiyakan bahwa substansi debat tidak boleh menyerang secara personal. “Saya setuju memang tidak bisa substansi debat menyerang isu tentang agama, etnis, suku, dan isu-isu yang sifatnya sudah merupakan atribut sejak lahir dari seorang manusia. Tetapi jangan sampai kita salah memaknai bahwa semua hal bisa dipersonalisasi. Isu tentang kekayaan, kasus di masa lalu, kinerja, itu juga sangat bisa untuk digali dalam perdebatan,” tutup Mada.
Penulis: Tasya