
Setiap organisasi, perusahaan atau institusi publik tidak lepas dari resiko badai krisis komunikasi yang bisa menerpa kapan saja sehingga berisiko merusak citra dan reputasi. Setiap krisis yang datang, harus direspon secara proaktif, tidak cukup bersikap reaktif dalam menanggapi isu negatif yang muncul baik di media sosial maupun media mainstream.
“Organisasi yang merespons secara proaktif saat awal krisis, dapat mengurangi kerugian reputasi hingga 30% lebih kecil dibandingkan yang merespons secara reaktif,” ujar praktisi komunikasi publik Winda Mizwar Pratiwi, S.E., M.I.Kom., dalam workshop bertajuk Manajemen Krisis dan Komunikasi Proaktif, pada Kamis (18/9), di Ruang Multimedia 1, Gedung Pusat UGM.
Dalam paparannya, Winda menekankan perlunya perubahan pola pikir humas agar tidak sekadar bersikap reaktif. Ia menilai respons cepat memang penting, tetapi tanpa refleksi hanya akan menghasilkan penyelesaian jangka pendek. Menurutnya, sikap reflektif membuat organisasi mampu belajar dari krisis dan memperkuat reputasi. “Sektor pendidikan dan kesehatan mengalami penurunan kepercayaan publik paling signifikan saat terjadi krisis komunikasi karena masyarakat mengharapkan standar etika dan transparansi yang lebih tinggi,” katanya.
Winda juga menyampaikan bahwa setelah badai krisis yang dibutuhkan bukan hanya perbaikan citra, tetapi narasi masa depan bahwa institusi belajar dan berubah, serta melahirkan komitmen baru. Krisis komunikasi juga dapat menjadi sarana evaluasi menyeluruh. Melalui refleksi, humas dapat merumuskan strategi komunikasi yang lebih efektif dan inovatif, sehingga publik melihat krisis sebagai bagian dari proses perbaikan. “Tekankan pada transparansi, empati institusional, responsif, dan lakukan integrasi serta koordinasi dengan humas universitas ketika terjadi krisis di tingkat fakultas” tuturnya saat menjelaskan prosedur operasional standar ketika terjadi krisis.
Ia menambahkan bahwa membangun kepercayaan publik tidak bisa hanya mengandalkan kecepatan, melainkan membutuhkan konsistensi dan transparansi. Bagi Winda, keberhasilan humas ditentukan oleh kemampuannya menghadirkan komunikasi yang autentik ketika krisis komunikasi terjadi. “Kepercayaan publik bisa runtuh seketika jika kita salah langkah, tetapi akan tumbuh kuat jika kita konsisten menyampaikan pesan dengan jujur,” jelasnya.
Melalui workshop ini, peserta tidak hanya mendapatkan materi, tetapi juga terlibat dalam simulasi penanganan krisis, diskusi interaktif, hingga praktik pembuatan siaran pers. Winda menegaskan bahwa humas dituntut untuk berpikir kritis, reflektif, serta memahami konteks di balik setiap keputusan komunikasi. “Memahami bagaimana audience merespons informasi yang kita sampaikan adalah hal yang sangat penting dalam menyusun siaran pers,” terangnya.
Selain itu, Winda menekankan pentingnya audience mapping dalam setiap strategi komunikasi. Menurutnya, humas perlu mengenali segmentasi demografis audiens, menyesuaikan nada pesan dengan karakteristik mereka, serta memilih saluran distribusi pesan yang tepat agar informasi dapat diterima secara efektif. “Pesan yang sama bisa diterima berbeda jika tidak disesuaikan dengan siapa audiensnya dan bagaimana cara kita menyampaikannya,” pungkasnya.
Penyelenggaraan workshop ini menjadi bagian dari komitmen UGM dalam memperkuat kapasitas dan peran strategis fungsi kehumasan di lingkungan universitas. Melalui forum pembelajaran ini, UGM berupaya memastikan humas di setiap unit mampu menjadi garda terdepan dalam menjaga reputasi, membangun komunikasi proaktif, dan mengubah tantangan menjadi peluang.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Donnie