
Di tengah meningkatnya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri, data statistik ketenagakerjaan nasional justru menunjukkan tren positif dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) edisi Februari 2025 melaporkan bahwa TPT turun dari 4,82 persen menjadi 4,76 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Artinya, proporsi jumlah penganggur terhadap jumlah angkatan kerja (bekerja ditambah penganggur) berkurang. Sementara itu, gelombang PHK terus menjadi pemberitaan utama sejak awal tahun. Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mencatat lebih dari 18.000 pekerja mengalami PHK dalam dua bulan pertama 2025.
Fenomena ini mendapat perhatian dan tanggapan dari Qisha Quarina, S.E., M.Sc., Ph.D, selaku dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) sekaligus peneliti ketenagakerjaan. Menurutnya, penurunan angka TPT tidak serta-merta menandakan bahwa kondisi pasar tenaga kerja benar-benar membaik. “Meskipun data menunjukkan tingkat pengangguran terbuka menurun, tetapi jumlah pengangguran secara absolut justru mengalami peningkatan,” tuturnya di FEB UGM, Senin (28/7).
Dia menjelaskan hal ini bisa terjadi karena jumlah penduduk yang bekerja bertambah lebih cepat daripada jumlah penganggur. Dengan kata lain, tingkat pengangguran terbuka memang menurun, tetapi total jumlah orang yang menganggur tetap bertambah. Sekali lagi, menurutnya, kondisi ini menjadi contoh bagaimana data statistik dapat menimbulkan kesan yang menyesatkan jika tidak dipahami secara utuh. Bagaimanapun soal isu ketenagakerjaan nasional bukan hanya soal pengangguran, namun pekerjaan yang layak juga menjadi isu penting yang patut menjadi perhatian bersama. “Masalah utama kita bukan hanya soal ada kerja atau tidak, tetapi juga soal pekerjaan yang layak,” imbuh Koordinator Bidang Kajian Microeconomics Dashboard (Micdash) FEB UGM.
Dalam konteks ini, kata Qisha Quarina, konsep pekerjaan layak atau decent job dari International Labour Organization (ILO) menjadi sangat relevan. Konsep ini mencakup empat pilar yakni penciptaan lapangan kerja, perlindungan sosial, hak-hak pekerja, dan dialog sosial. “Sayang, Indonesia masih menghadapi tantangan serius dalam keempat aspek tersebut”, ucapnya.
Qisha menyebutkan dominasi pekerja informal menjadi salah satu kerentanan terbesar dalam struktur ketenagakerjaan Indonesia. Berdasarkan data Sakernas Februari 2025, terdapat 86,58 juta pekerja di sektor informal, jumlah yang jauh melampaui pekerja formal yang tercatat sebanyak 59,19 juta orang. Artinya, mayoritas tenaga kerja di Indonesia belum mendapatkan perlindungan hukum maupun jaminan sosial secara memadai.
Tantangan lainnya masih rendahnya kualitas hubungan kerja yang terlihat dari masih banyaknya pekerja yang tidak memiliki perjanjian kerja tertulis. Tercatat hanya sekitar 11,57 juta pekerja yang memiliki Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT). Sementara itu, lebih dari 26 juta bekerja tanpa kontrak dan sekitar 16 juta pekerja hanya mengandalkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). “Bahkan sebagian besar dari mereka tetap bekerja lebih dari 35 jam per minggu, artinya secara produktivitas tidak kalah, tapi secara perlindungan sangat lemah,” ungkapnya.
Dalam pandangan Qisha rendahnya kepesertaan dalam jaminan sosial ketenagakerjaan turut menjadi tantangan ketenagakerjaan nasional. Banyak pekerja yang tidak terdaftar dalam BPJS Ketenagakerjaan, bahkan tidak mengetahui status kepesertaannya. “Kondisi ini tentunya menjadikan mereka dalam posisi yang sangat rentan. Tanpa adanya jaminan sosial, para pekerja tidak memiliki perlindungan finansial jika menghadapi risiko seperti sakit, kecelakaan kerja, atau pemutusan hubungan kerja”, terangnya.
Reportase : Kurnia Ekaptiningrum/ Humas FEB UGM
Penulis : Agung Nugroho
Foto :Dok. FEB UGM