Forum Balairung UGM melakukan aksi peneguran untuk mengingatkan kembali aspek-aspek demokrasi bangsa. Praktik-praktik nepotisme, pelanggaran dan kecurangan pemilu, bahkan politik dinasti menjadi isu yang mengkhawatirkan dan perlu ditindak tegas. Pada sore (12/3), sejumlah dosen, guru besar, dan media berkumpul menyerukan orasi “Kampus Menggugat” akibat kecerobohan pemerintah dalam menerapkan etika dan prinsip demokrasi.
“Persoalan yang terjadi di Indonesia tidak mungkin kita biarkan. Saya tahu persis bahwa tantangan yang terjadi di Indonesia dalam proses demokrasi dua dekade terakhir adalah bagian dari penguatan reformasi. Demokrasi semakin memburuk terlihat dari kecenderungan praktik-praktik oligarki, korupsi, dan nepotisme. Kita tahu bahwa problem etik soal dinasti ini bukan problem yang dianggap ringan,” ujar Dr. Arie Sujito, S.Sos., M.Si.
Menurutnya, universitas sebagai entitas akademik memiliki tanggung jawab untuk mencegah kembali terjadinya praktik penyelewengan demokrasi. Arie juga turut mengajak universitas untuk bersama-sama menyerukan teguran pada pemerintah, karena komitmen satu suara saja tidak cukup untuk menumbuhkan kembali asas NKRI. Hal yang sama juga disampaikan oleh Prof. Drs. Koentjoro, M.BSc., Ph.D., Guru Besar UGM yang sekaligus sebelumnya juga menjadi pembaca petisi Bulaksumur. Ia menyayangkan kritik dari guru besar sama sekali tidak dihiraukan, bahkan dianggap menunggangi salah satu kandidat politik.
“Sayangnya suara kami hanya dipahami sebagai hak demokrasi kami, tidak dimengerti isinya. Tidak dilakukan apa yang menjadi peringatan kami. Merusak, menabrak etika, mengatasnamakan tidak ada undang-undang hukum yang dilanggar,” ucapnya. Tanggapan pemerintah terhadap kritik guru besar dinilai tidak menghargai keberadaan ahli dan akademisi. Politik kepentingan tetap dilakukan dengan mengakomodasi kepentingan oligarki. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan mengingat kedaulatan rakyat sebagai pemegang kepentingan tertinggi bisa terancam.
Wuri Handayani, S.E., Ak., M.Si., M.A., Ph.D., Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis turut mengungkapkan, demokrasi di Indonesia mengalami penurunan. Survei Economist Intelligence Unit menyebutkan, indeks demokrasi Indonesia tahun 2023 mengalami penurunan dari 7,61 menjadi 7,53 dan secara internasional berada pada posisi 56 dari 157 negara penganut demokrasi. “Indonesia saat ini berada pada kondisi cacat demokrasi. Kita semua menjadi saksi mata, bagaimana kelemahan lembaga-lembaga formal seperti KPK, bagaimana konstitusi dijarah di tempat paling tinggi Mahkamah Konstitusi, dan bagaimana semua alat negara digunakan untuk memenangkan calon tertentu. Semua ini berawal dari hilangnya etika bernegara,” paparnya.
“Kampus Menggugat” mengundang para sivitas akademika dan alumni di tiap universitas dan elemen masyarakat sipil untuk mengembalikan etika dan konstitusi yang terkoyak selama lima tahun terakhir. Petisi juga menyebutkan bahwa latar belakang adanya pernyataan ini disebabkan karena keresahan terkait pelanggaran etika dan konstitusi yang meningkat drastis menjelang Pemilu 2024, sekaligus memperburuk kualitas kelembagaan formal. Pernyataan ini dilengkapi oleh tiga permintaan, yakni:
- Universitas sebagai benteng etika menjadi lembaga ilmiah independen yang memiliki kebebasan akademik penuh untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menyuarakan kebenaran berbasis fakta, nalar, dan penelitian ilmiah
- Segenap elemen masyarakat sipil terus kritis terhadap jalannya pemerintahan dan tak henti memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Ormas sosial keagamaan, pers, NGO, CSO, tidak terkooptasi, apalagi menjadi kepanjangan tangan pemerintah
- Para pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif:
- Memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi secara substansial dan menjunjung tinggi amanah konstitusi dalam menjalankan kekuasaan demi mewujudkan cita-cita proklamasi dan janji reformasi. Politik dinasti tidak boleh diberi ruang dalam sistem demokrasi
- Menegakkan supremasi hukum dan memberantas segala macam bentuk Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) tanpa mentolerir pelanggaran hukum, etika, dan moral, dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara
- Secara serius mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial bagi semua warga dan tak membenarkan negara dibajak oleh para oligarki dan para politisi oportunis yang terus mengeruk keuntungan melalui kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat pada umumnya
Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., Pakar Hukum UGM menyatakan, gerakan “Kampus Menggugat” bukan hanya menjadi upaya untuk mengembalikan nilai-nilai demokrasi, namun juga merupakan salah satu cara menumbuhkan oposisi yang telah lama didomestikasi. “Tak dapat dipungkiri, fenomena ini membuat oposisi kembali hadir, setelah sekian lama didomestikasi. Harapannya, ini bisa menjadi upaya untuk membangun kembali demokrasi kita,” ucapnya.
Penulis: Tasya