Gelaran “The Life of Butoh” oleh Gelanggang Inovasi dan Kreativitas UGM pada 4-5 September 2024 sukses menyajikan panggung kesenian bernuansa kultur Indonesia-Jepang. Pentas ini merupakan hasil kolaborasi dari seniman-seniman Butoh di dua negara yang diwakilkan oleh masing-masing enam performer Indonesia dan Jepang.
Selama kurang lebih 15 tahun lalu Butoh dipentaskan di Yogyakarta, kesenian ini masih memiliki banyak peminat. Butoh merupakan salah satu kesenian asal Jepang yang telah dikenal di berbagai negara, termasuk Indonesia. Latar belakang lahirnya kesenian ini adalah adanya dominasi budaya barat setelah kekalahan Jepang di Perang Asia Timur Raya, dan Butoh dicetuskan oleh Kazuo Ohno dan Tatsumi Hijikata sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya tersebut. Karenanya, Butoh dibentuk sebagai kesenian avant-grande atau pertunjukkan seni yang bersifat provokatif dan berbeda.
Pementasan Butoh di GIK UGM menghadirkan seniman ternama, seperti Jun Amanto, Mutsumi-Neiro, Rina Takahashi, Minoru Hideshima, Rianto, Fitri Setyaningsih, Broto Wijayanto, Anter Asmorotedjo, Endy Baroque, dan Mugiyono Kasido. Setiap tampilan dikemas dengan nuansa apik, menegangkan, dan bermakna mendalam tentang kehidupan manusia. Seni Butoh juga mengalami perkembangan seiring dengan perubahan zaman yang turut mengubah pola hidup manusia.
Garin Nugroho, Chief Program Officer GIK UGM menjelaskan perbedaan pemaknaan gerak tubuh Butoh di era modern. “Tubuh telah menjadi elemen penting dalam gaya hidup modern, sering dijadikan objek untuk dipamerkan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di media sosial. Tubuh yang ideal sering kehilangan realitas dan pengetahuan mendalam tentang dirinya sendiri,” tuturnya.
Salah satu tampilan tari berjudul “Hormon 46++” karya Fitri Setyaningsih mengangkat kisah hidup perempuan berusia 46 tahun ke atas. Tubuh perempuan di masa tersebut mulai mengalami perlambatan siklus, bahkan mulai memasuki masa pemberhentian reproduksi. Perasaan tersebut diekspresikan melalui simbolis gunung merapi yang menyimpan lava panas di dalam bumi, kemudian perlahan naik ke permukaan, dan menjadi lahar padat. “Perubahan itu pasti akan datang, setiap perempuan pasti akan mengalaminya. Tapi tidak perlu takut, itu adalah proses hidup dan kita harus menerimanya,” ungkap Fitri.
Karya unik lainnya dibawakan oleh Mugiyono Kasido, seniman Indonesia yang berhasil mengeksplorasi alat musik Gong Tiup asal Banyumas. Melalui tajuk “Bayu Akasa” atau “Angin Kehidupan”, Mugiyono mempersembahkan lapisan-lapisan suara dari gong tiup tanpa melodi. Hasil perpaduan tiupan alat musik tradisional tersebut menghasilkan pertunjukkan yang baru dan menawan. Pertunjukkan ini dimaknai sebagai alur kehidupan yang terus berjalan dan berkelanjutan.
Seperti halnya ciri khas karya seni Butoh, selalu ada daya tarik dari atraksi menantang dan unik dari para senimannya. Neiro dan Mutsumi Yamamoto, dua seniman asal Jepang ini menampilkan karyanya dengan hampir tanpa busana. Perpaduan musik klasik dan modern Jepang menjadi satu dalam rangkaian tarian ternyata menciptakan atmosfer baru nan unik. Keduanya mengeksplorasi pemaknaan akan kreativitas dna pemikiran yang tidak pernah terbatas. “Batas itu adalah ilusi. Kita tidak ingin memaknai penampilan kita, tapi bagaimana penonton memaknainya adalah hal yang lebih penting,” pungkas Neiro.
Selain ketiga penampilan tersebut, masih ada serangkaian tampilan lainnya yang juga menarik untuk dieksplorasi. Seperti “Kaguya” yang mengisahkan cinta seorang pria dengan Putri Bulan dan tarian Lengger sebagai bentuk tarian lintas gender. Meskipun bernuansa provokatif, Butoh memiliki cakupan inspirasi yang jauh lebih bebas. Seniman dapat mengeksplorasi berbagai fenomena kehidupan, termasuk metamorfosis tubuh, ideologi, sampai idealisme zaman.
Butoh di era modern lebih memperdalam entitas tubuh dengan hakikat yang sebenarnya. Pemaknaan ini diambil dari masifnya perkembangan zaman yang memunculkan fenomena digital. Manusia terbiasa hidup di ruang-ruang maya yang lambat laun menjauhkan individu dari realitas. Seni pertunjukkan Butoh mengemas makna tersebut dalam berbagai gerakan tubuh yang bebas dan ekspresif. Menariknya, dalam pertunjukkan yang digelar GIK UGM, terdapat dua kultur yang saling berkolaborasi dan menciptakan harmoni baru.
Aji Wartono, Chief of Program GIK UGM, menekankan pentingnya menampilkan seni Butoh di GIK UGM. “Ilmu pengetahuan mendorong kemajuan, Mempelajari dan melihat seni budaya dari luar budaya kita sangat penting untuk memperluas wawasan serta mengembangkan seni dan budaya kita sendiri,” paparnya.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson