
Kanker payudara masih menjadi penyebab kematian tertinggi akibat kanker pada perempuan di Indonesia. Jumlah perempuan di Indonesia yang melakukan skrining kanker payudara masih kurang dari 30 persen. Padahal, skrining ini amat penting untuk deteksi awal sehingga kasus kanker bisa ditemukan pada stadium dini.
Data Kementerian Kesehatan RI per 29 September 2025 menyebutkan, setidaknya dari 8,9 juta perempuan usia 30-69 tahun sudah melakukan cek kesehatan gratis. Sebanyak 2,8 juta (32 persen) melakukan skrining dengan sadanis. Sementara itu, sebanyak 478.819 perempuan telah melakukan pemeriksaan USG payudara. Terdapat 11.404 perempuan dengan benjolan payudara dan 1.273 perempuan dicurigai kanker. Sementara itu, dari 478.819 orang yang diperiksa USG payudara, ditemukan 1.300 kasus kista sederhana dan 3.715 kasus kista kompleks.
Dosen Departemen Biostatistik, Epidemiologi dan Kesehatan Populasi, FK-KMK UGM, Dr. dr. Prima Dewi Ratrikaningtyas, M.Biotech., menekankan pentingnya kesadaran akan skrining dan deteksi dini sebagai langkah utama menekan angka kematian akibat kanker ini. Menurutnya, skrining berperan besar dalam menemukan kanker payudara pada stadium awal ketika peluang kesembuhan masih tinggi. “Kanker payudara merupakan kanker dengan jumlah kasus dan penyebab kematian tertinggi pada perempuan di Indonesia. Dengan skrining dan deteksi dini, kanker dapat ditemukan pada stadium awal sehingga penanganan lebih efektif dan angka kesembuhan meningkat,” jelasnya, Rabu (8/10).
Namun, tantangan terbesar masih datang dari rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan rutin. Banyak perempuan di Indonesia baru memeriksakan diri setelah merasakan gejala yang mengganggu. “Sebagian besar masyarakat kita masih berpikir jika belum sakit berarti belum perlu memeriksakan diri. Selain itu, kebutuhan skrining sering tidak dianggap prioritas, apalagi jika harus berbayar. Banyak perempuan juga takut mengetahui hasilnya jika ternyata positif kanker,” ungkapnya.
Untuk memperluas akses dan partisipasi skrining, Prima menilai perlu adanya kebijakan yang komprehensif, baik dari sisi layanan, pembiayaan, maupun edukasi publik. Ia menyarankan agar layanan skrining klinis payudara (CBE) dan rujukan mamografi dimasukkan ke dalam layanan rutin di Puskesmas dan fasilitas kesehatan primer. “Selain itu, perlu kampanye nasional berkelanjutan tentang pentingnya deteksi dini melalui berbagai media, serta memperkuat peran komunitas pasien dan penyintas kanker sebagai advokat di masyarakat,” imbuhnya.
Ia juga menyoroti pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam memperkuat upaya deteksi dini. Menurutnya, kemitraan antara pemerintah, organisasi profesi, sektor pendidikan, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor swasta perlu diperkuat. “Setiap sektor memiliki kapasitas berbeda yang dapat saling melengkapi. Dengan kolaborasi yang baik, upaya edukasi dan deteksi dini bisa menjangkau lebih banyak perempuan, termasuk di daerah terpencil,” jelas dr. Prima.
Lebih lanjut, ia berharap kebijakan kesehatan ke depan dapat memanfaatkan kemajuan teknologi untuk memperluas jangkauan layanan deteksi dini kanker. “Harapannya, masa depan kebijakan deteksi dini di Indonesia akan mengarah pada sistem yang lebih kolaboratif, digital, dan berbasis masyarakat, sehingga setiap perempuan bisa mendapat akses layanan kesehatan yang setara,” tutupnya.
Penulis : Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik