
Kasus predator seksual anak yang baru-baru ini terungkap di Jepara menyisakan keprihatinan mendalam. Masih berumur 21 tahun, usia yang masih tergolong muda bagi pelaku, tetapi dirinya telah melakukan pelecehan seksual kepada setidaknya 31 anak-anak dengan rentang usia 12–17 tahun yang sudah menjadi korban. Aksi bejatnya dilakukan melalui media sosial yang kemudian berkembang menjadi bentuk kekerasan seksual digital dan fisik dengan diiringi pengancaman.
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) pun menunjukkan bahwa terdapat 11.266 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 16.106 kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia pada 2022. Sebelumnya, hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) Tahun 2021 yang dilakukan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menunjukkan bahwa 4 dari 10 anak perempuan dan 3 dari 10 anak laki-laki berusia 13-17 tahun pernah mengalami kekerasan dalam bentuk apapun di sepanjang hidupnya.
Melalui kacamata psikolog klinis, Indria Laksmi Gamayanti, M.Si., Psikolog, mengatakan kasus predator seksual anak mengindikasikan kerentanan ganda pada remaja, baik secara psikologis, sosial, maupun biologis. Dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM ini menjelaskan bahwa pada usia pra remaja hingga remaja, anak-anak sedang dalam masa pencarian identitas dan membutuhkan pengakuan serta perhatian. “Ketika hal ini tidak terpenuhi dari lingkungan terdekat, mereka menjadi lebih mudah tergoda oleh bujuk rayu dan pujian dari lawan jenis,” terangnya, Kamis (22/5).
Gamayanti menambahkan, kurangnya pemahaman anak terhadap risiko dunia digital menjadi celah besar bagi pelaku untuk memanipulasi korban. Anak-anak belum memahami batasan privasi, potensi ancaman, dan sikap yang tepat bersikap ketika dihadapkan pada konten seksual atau ajakan mencurigakan. Oleh karena itu, orang tua dan pendidik diharapkan mampu mendeteksi tanda-tanda awal anak menjadi korban kekerasan seksual, meski tidak selalu tampak jelas.
Ia menyebutkan, beberapa tanda yang bisa diwaspadai antara lain perubahan perilaku yang mencolok, penurunan prestasi akademik, mimpi buruk hingga mengigau, ketakutan berlebih terhadap sentuhan fisik atau menarik diri dari lingkungan sosial. “Respon orang tua menjadi krusial. Kalau langsung menyalahkan, anak akan makin tertutup dan merasa tidak aman. Padahal, ia butuh dukungan emosional untuk pulih sekaligus pendampingan agar tidak berkembang menjadi gangguan psikologis di kemudian hari,” ujar Gamayanti.
Dampak jangka panjang dari kekerasan seksual pada anak bisa bervariasi, mulai dari gangguan kecemasan, depresi, hingga kesulitan menjalin hubungan sosial yang sehat. Bahkan dalam beberapa kasus, trauma yang tidak tertangani dapat mempengaruhi perkembangan seksual korban atau membentuk pola perilaku menyimpang di masa dewasa.
Lebih lanjut, Gamayanti menekankan pentingnya pendidikan seksualitas sejak dini dalam bentuk yang positif dan sesuai usia, termasuk pengenalan bagian tubuh, batasan interaksi fisik, dan pemahaman tentang media digital. Komunikasi terbuka antara anak dan orang tua juga menjadi kunci pencegahan. “Kita tidak bisa hanya mengedukasi anak, tetapi juga orang tua. Supaya saat anak menghadapi situasi berisiko, mereka tahu harus bersikap bagaimana, dan siapa yang bisa dipercaya,” pungkasnya.
Penulis : Bolivia Rahmawati
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik