Prof. dr. Muhammad Bayu Sasongko, Sp.M, M.Epi, Ph.D dikukuhkan dalam Jabatan Guru Besar Bidang Ilmu Kesehatan Mata pada Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Dalam pengukuhannya, ia menyampaikan pidato berjudul Implementasi Skrining Berbasis Tele-Oftalmologi Untuk Menurunkan Beban Retinopati Diabetika dan Kebutaan Akibat Diabetes di Indonesia.
“Judul ini saya pilih karena Indonesia adalah negara dengan jumlah penyandang diabetes terbanyak keempat di dunia dan dalam 1–2 dekade terakhir jumlah penyandang diabetes di Indonesia semakin meningkat signifikan,” ujarnya di Balai Senat UGM, Selasa (12/12).
Peningkatan ini, menurut Bayu, diikuti oleh peningkatan komplikasi diabetes yang paling sering dijumpai, yaitu retinopati diabetika (RD) yang memiliki potensi menyebabkan kebutaan permanen. Karena itu, menurutnya, diperlukan upaya deteksi dini sebagai bentuk pencegahan pemburukan penglihatan hingga kebutaan pada penyandang diabetes dengan RD melalui terapi yang dilakukan seawal mungkin agar kebutaan permanen dapat dihindari.
Upaya deteksi dini ini dilakukan dengan skrining rutin bagi semua penyandang diabetes dan idealnya dilakukan di layanan kesehatan primer. Meski implementasi masih terbatas dalam 10 tahun terakhir, berbagai model skrining berbasis komunitas dengan memberdayakan petugas kesehatan maupun kecerdasan buatan terus dikembangkan.
“Berbagai kelebihan dan kekurangan dari bermacam model menunjukkan skrining melalui teleoftalmologi saat ini menjadi pilihan terbaik untuk mengurangi beban kebutaan pada penyandang diabetes di Indonesia,” terangnya.
Bayu menjelaskan Retinopati Diabetika menimbulkan beban kebutaan yang sangat besar di Indonesia dan para penderita diabetes memiliki risiko seumur hidup untuk terjadi komplikasi RD sewaktu-waktu. Sayangnya, tidak sedikit penyandang DM tidak menyadari munculnya RD karena pada RD tahap ringan dan sedang sering kali terjadi tanpa gejala.
Prevalensi RD di beberapa negara Asia sangat bervariasi. Prevalensi RD di India adalah 12-22 persen, China 28-43 persen, dan Singapura 35 persen dengan angka kebutaan akibat RD di China sebesar 4 persen. Sedangkan prevalensi RD di Indonesia secara keseluruhan yang pernah dilaporkan sebesar 43 persen dan RD tahap berat yang mengancam penglihatan sebesar 26 persen. Angka kebutaan akibat RD sendiri dilaporkan sebesar 12 persen dari seluruh penderita RD dan 7 persen diantaranya penyandang DM tipe 2.
Bayu menyebut Retinopati Diabetika juga merupakan komplikasi diabetes yang bersifat progresif dengan berbagai faktor risiko. Kondisi akan semakin bertambah parah seiring berjalannya waktu atau memburuknya kondisi sistemik. Data terakhir di Indonesia memperlihatkan setiap tahun terdapat 38 kasus RD baru, 28 kasus RD berat baru dan 5 kebutaan baru akibat RD per 1000 penyandang DM.
“Apabila data ini diekstrapolasikan dalam konteks 20 juta penyandang DM di Indonesia di tahun 2030 maka akan terdapat 760 ribu RD baru dan 100 ribu kebutaan akibat RD setiap tahun. Jumlah ini akan memerlukan penanganan yang rutin, bermacam-macam dan berkelanjutan seperti laser retina, injeksi obat hingga operasi yang dilakukan oleh dokter spesialis mata ahli retina,” ucapnya.
Penanganan RD yang rutin dan terus menerus tentunya akan menimbulkan biaya tidak langsung yang cukup besar terkait dengan penanganan RD, misalnya biaya yang dikeluarkan oleh keluarga penderita dalam masa perawatan atau penanganan RD, biaya transportasi ke layanan kesehatan, biaya kehilangan pekerjaan dan lain-lain. Besarnya biaya kesehatan untuk penderita RD semakin besar pada RD tahap lanjut dimana penderita RD tahap berat – lanjut membutuhkan kombinasi beberapa jenis tindakan medis.
“Pembiayaan kesehatan satu penderita RD tahap lanjut diperkirakan mencapai 20 – 40 juta rupiah per pasien, sedangkan biaya kesehatan untuk RD tahap ringan – berat hanya sebesar 100 ribu – 9 juta rupiah per pasien,” terangnya.
Bayu kembali menandaskan bahwa skrining menjadi kunci utama kesuksesan dalam mengurangi beban RD di masyarakat. Melalui diagnosis awal yang akurat dan dilakukan penanganan seawal mungkin mengurangi tingkat keparahan RD berlanjut.
Dia menyampaikan salah satu permasalahan terbesar dalam penanganan RD secara nasional adalah masih banyaknya kasus RD yang belum terdiagnosis dan belum mendapatkan layanan kesehatan mata secara layak. Data WHO menyebut penyandang DM harus menjalani pemeriksaan mata minimal sekali dalam satu tahun untuk mendeteksi ada atau tidaknya RD, sayangnya data dari beberapa populasi DM di Indonesia memperlihatkan lebih dari 90 persen penderita DM belum pernah menjalani pemeriksaan mata, dan ini pula yang mungkin menyebabkan tingginya angka gangguan penglihatan dan kebutaan pada penyandang DM di Indonesia.
Berbagai model skrining RD terus dikembangkan di beberapa negara dan di Indonesia. Inggris merupakan salah satu negara yang paling awal menerapkan skrining RD berjenjang di pusat layanan kesehatan primer. Di Australia, layanan skrining RD di negara ini dilakukan di semua layanan optometri dan penyedia layanan kacamata, dan hampir semua layanan laboratorium patologi klinik.
Sementara, upaya membangun program skrining RD di Indonesia telah diinisiasi sejak tahun 2013, diawali dari tiga daerah, yaitu Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta dengan dukungan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan dukungan dana dari Hellen-Keller International/World Diabetes Foundation. Di Jakarta, skrining RD dilaksanakan bersamaan dengan kelompok pos pelayanan terpadu (posyandu) lansia yang ada di setiap kelompok masyarakat, dan di Bandung, skrining RD dilaksanakan dengan bekerjasama dengan kelompok persatuan diabetes (PERSADIA) yang diampu oleh dokter spesialis penyakit dalam.
“Di Yogyakarta, skrining RD dilakukan dengan menggandeng dokter keluarga yang mengampu kelompok penderita diabetes di masyarakat. Dari ketiga model skrining RD yang telah dicobakan, didapatkan hasil bahwa model skrining yang paling efektif dan berkelanjutan adalah dengan menggandeng para dokter umum atau dokter keluarga yang ada di fasilitas kesehatan primer. Sayangnya, implementasi secara lebih luas masih belum dapat dilaksanakan karena beberapa keterbatasan,” paparnya.
Di akhir pidato, Bayu berkesimpulan optimalisasi skrining RD melalui tele-oftalmologi di fasilitas kesehatan primer diperkirakan dapat menghasilkan efisiensi lebih dari 50 ribu kunjungan ke rumah sakit serta penghematan total sebesar lebih dari 600 miliar rupiah setiap tahun jika dibandingkan dengan skrining oportunistik yang dilakukan di fasilitas kesehatan rujukan oleh dokter spesialis mata. Lebih dari itu, implementasi tele-oftalmologi untuk skrining RD akan dapat menyelamatkan 20 juta penyandang DM dari gangguan penglihatan berat dan mencegah penambahan 100 ribu kebutaan akibat RD setiap tahun di tahun 2030.
Upaya ini disebutnya akan dapat menyelamatkan produktifitas kerja individu dan keluarga, dan dalam skala besar tentunya menyelamatkan produktifitas negara. Meski begitu, terdapat beberapa tantangan utama dalam menginisiasi tele-oftalmologi untuk skrining RD diantaranya adalah perlunya investasi kamera retina, pelatihan sumber daya manusia, dan pengembangan sistem komunikasi digital antara layanan kesehatan primer dan rujukan.
Teleoftalmologi dan skrining RD Teleoftalmologi adalah pertukaran informasi medis di bidang oftalmologi di dua tempat yang berbeda dengan memanfaatkan tekno logi informasi dan/atau teknologi komunikasi untuk meningkatkan status kesehatan pasien. Tujuan utama teleoftalmologi adalah penyediaan layanan kesehatan yang optimal, lebih murah, dan dapat menjangkau berbagai tempat dengan akses kesehatan yang sulit. Aplikasi teleoftalmologi untuk skrining RD sudah diaplikasikan di berbagai negara lain seperti Inggris, Singapura, Kanada Thailand, India, dan Afrika.
“Implementasi tele-oftalmologi untuk skrining RD dan pemanfaatannya sangat potensial untuk diterapkan di Indonesia. Selain sesuai dengan kondisi geografis sebagai negara kepulauan dengan distribusi sumber daya manusia yang belum merata, tele-oftalmologi juga dapat disisipkan ke dalam sistem layanan kesehatan berjenjang yang terus berkembang di Indonesia,” imbuhnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Firsto