![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/Miras-freepik.jpg)
Pesta minuman keras (miras) oplosan di wilayah Bogor Tengah, Kota Bogor dan Desa Kademangan, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur menyebabkan sejumlah korban tewas. Sebanyak empat orang tewas dan satu masih kritis setelah menenggak miras oplosan di tempat pencucian motor di Bogor Tengah. Sementara di Desa Kademangan, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur, korban tewas tercatat ada sembilan orang. Satu korban masih mendapatkan perawatan intensif di RSUD Sayang, Kamis (13/2).
Kasus Miras menelan korban tewas kembali menyeruak di ruang publik dan mengundang keprihatinan banyak pihak. Keprihatinan juga hadir dari sosiolog sekaligus dosen Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, R. Derajad Sulistyo Widhyharto, S.Sos., M.Si. Menurutnya fenomena miras, narkoba, judol dan lain-lain bisa disebut sebagai jebakan “hamster wheel” masyarakat kelas menengah ke bawah. Artinya miras sebagai ekspresi kaum menengah bawah menghadapi tekanan ekonomi. “Alih alih sebagai alasan produktivitas, melepas penat setelah bekerja, dan menghilangkan stress. Bagaikan roda putar hamster, kaum menengah bawah ini mencoba mengais kenikmatan dunia dengan harga murah”, ujarnya di Kampus UGM, Kamis (13/2).
Fenomena tersebut, diakui Derajad, sebagai fenomena yang hingga kini belum bisa dihilangkan. Peredaran ilegal sebagai underground economy menjadi fenomena yang suka atau tidak suka akan terus menghantui kaum menengah kebawah. Hal tersebut menandakan jangkauan gagasan pembangunan masyarakat oleh pemerintah belum menyentuh kelompok hingga ke bawah.
Belum lagi soal kehidupan yang makin individulis yang telah menular di area sub urban maupun pedesaan. Dengan kondisi ini, katanya, pemerintah sebaiknya lebih pro akrif dalam menangani kasus narkoba, miras, judol dan lain-lain. “Sudah seharusnya tidak lagi hanya menunggu laporan masyarakat”, terangnya.
Konsep ilegal di atas sebagai konsep pemerintah karena ia gagal memungut pajak dari produk miras dan lain-lain. Padahal miras, narkoba judol dan lain-lain memiliki perputaran uang besar.
Dalam kekhawatiran Derajad, terkait konteks ini, ia berpandangan, jangan-jangan pemerintah hanya mencari aman saja. Pemerintah merasa hanya menghimpun sumber ekonomi yang legal sehingga korban jiwa yang berjatuhan dianggap hanya angka belum sebagai bentuk tanggungjawabnya. “Dengan seperti ini saya kira 20 tahun lagi masih akan sering kita dengar adanya korban karena penegak hukum dan lembaga yang berwenang hanya menunggu laporan”, urainya.
Derajad mengungkap, pemerintah sesungguhnya telah mencoba intervensi terhadap permasalahan dapur masyarakat dengan meluncurkan program makan bergizi gratis. Sayang, program tersebut hanya menyentuh anak anak sekolah, belum untuk mereka yang putus sekolah, dan anak anak yang terpaksa bekerja karena kemiskinan.
Baginya solusi sosiologis bisa menjadi salah satu tawaran menarik, bagaimana masyarakat mengawasi komunitas. Masyarakat pun wajib menggunakan keluarga sebagai unit control. Pun dengan negara dan penegak hukum dituntut harus mampu menggeser paradigma yaitu aktif menciptakan community policing. “Jika perlu menciptakan polisi kecil yaitu remaja untuk mengawasi teman sebayanya. Karena harus diakui saat ini tidak mudah mendorong pelayanan publik sampai ke masyarakat,” pungkasnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : freepik.com