Maggot, atau larva dari jenis lalat Black Soldier Fly (BSF) merupakan salah satu media pengurai sampah organik yang baik. Kemampuannya untuk mengubah sampah menjadi kompos organik menjadi peluang untuk menyelesaikan masalah sampah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Beberapa komunitas warga telah memanfaatkan maggot sebagai pengurai sampah, salah satunya adalah Omah Nyantrik Maggot. Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) berkesempatan mendatangi Sentot Sugiarto dan Mart Widarto selaku pemilik dan pencetus Omah Nyantrik pada Rabu (21/2).
“Tahun lalu kita tahu berita TPA Piyungan ditutup, itu langsung membuat banyak bank sampah dan dpipilah. Tapi fokusnya keliru, kebanyakan yang dipilah itu sampah anorganik saja. Organiknya tidak dipilah. Inilah akhirnya yang membuat kita di Perumahan Graha Banguntapan ini berupaya mengolah dengan media maggot,” tutur Sentot. Berbeda dengan larva sejenis belatung, maggot memiliki kelebihan tersendiri. Sentot menjelaskan, bahwa maggot mampu menghabiskan sampah organik dan mengubahnya menjadi senyawa protein, sehingga lebih praktis dan higienis dibanding belatung.
Upaya pengelolaan sampah di daerah Banguntapan ini telah dilakukan sejak tahun 2015. Masyarakat diminta untuk memilah di tahap rumah tangga, kemudian baru dimasukkan ke bank sampah. Sebelum menggunakan maggot, masyarakat masih memanfaatkan metode losida, biopori, hingga ember tumpuk untuk mengolah sampah organik. Namun, proses ini dinilai kurang praktis dan membutuhkan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan jumlah 108 KK yang ada di Banguntapan. Akhirnya, pengurus RT setempat, termasuk Sentot dan Widarto beralih ke maggot yang lebih efisien.
“Masyarakat memilah, untuk yang anorganik kita taruh bank sampah, kalau yang organik ini kami oleh dengan maggot. Sehari itu kan makannya maggot itu 3 kali dari berat badan. Lebih cepat dari cacing Afrika, maggot itu paling aktif paling rakus, dan cepat,” ucap Widarto. Permasalahan sampah sebenarnya bukan sepenuhnya pada pengelolaan, namun yang menghambat proses tersebut adalah tidak adanya proses memilah di tingkat rumah tangga. Sampah yang sudah bercampur aduk masih harus dipilah kembali, dan ini yang membuat pengolahan sampah menjadi lebih lambat.
TPA Piyungan akan resmi ditutup total pada April 2024 mendatang. Pemerintah memberikan kebijakan untuk memanfaatkan TPS pada setiap kabupaten. Sayangnya, wilayah perkotaan masih menghadapi masalah kurangnya lahan untuk tempat mengelola sampah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran apabila sampah tidak dapat dikelola dan menumpuk di jalanan kota. Menurut Sentot, alih-alih menggunakan maggot dalam skala besar untuk mengurai sampah, setiap rumah tangga dapat mengolah sampah organiknya sendiri dengan budi daya maggot.
“Kami melihat Omah Nyantrik ini bukan sebuah bisnis. Saya yakin kalau orientasinya bisnis, maka inovasi seperti ini sudah pasti akan gagal. Omah Nyantrik saya katakan sebagai pertaubatan ekosistem, pertanggung jawaban manusia terhadap sampah yang dihasilkan. Kami di sini juga mempelajari maggot, karakteristiknya, mendalami prosesnya, hingga akhirnya bisa membuat sistem pengelolaan sampah,” terang Sentot.
Tanggung jawab masyarakat dalam mengelola sampahnya sendiri masih perlu didorong. Membuang sampah tanpa memilah memang mudah, namun dampaknya akan berkepanjangan. Oleh karenanya, aksi sekecil apapun untuk memperhatikan tentang sampah akan sangat berarti bagi kehidupan berkelanjutan. PSLH UGM melalui Podcast Lestari ini bersama Omah Nyentrik Maggot merupakan salah satu inovasi yang mendukung penerapan SDGs ke-12, yakni “Konsumsi dan Produksi yang Bertanggungjawab”.
Penulis: Tasya