Fakultas Ilmu Budaya menghadirkan Leila S. Chudori, novelis yang telah menghasilkan karya sastra seperti Laut Bercerita dan Pulang dalam kegiatan Ceramah Pakar Sastra. Bersama Dr. Sudibyo, M.Hum. dan T. A. Prapancha, ceramah pakar sastra kali ini membahas novel terbaru Leila yang diberi judul Namaku Alam.
Ceramah Pakar Sastra kali ini diselenggarakan pada Senin (13/5) secara simultan di Ruang Auditorium Gedung Soegondo Lantai 7 dan melalui Zoom Meeting pada pukul 13.00—16.00 WIB. Tiga narasumber pada siang hari itu adalah Leila S. Chudori, T.A. Prapancha Hary, Dr. Sudibyo, M.Hum. Leila S. Chudori adalah purnakarya jurnalis Tempo dan penulis Indonesia yang menghasilkan berbagai cerita pendek, novel, dan skenario drama televisi. Buku-bukunya yang telah diterbitkan oleh Penerbit KPG adalah Malam Terakhir, Pulang, Nadira, Laut Bercerita, dan novel anyarnya yang diberi judul Namaku Alam. Dr. Sudibyo, M.Hum. adalah Kepala Departemen Bahasa dan Sastra Fakultas Ilmu Budaya yang mengajar di sejumlah program studi di FIB UGM. Terakhir, T.A. Prapancha Hary merupakan psikolog klinis dan dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta yang juga merupakan Abdi Dalem Kraton Yogyakarta. Ia lahir dan besar di Yogyakarta, menempuh pendidikan S1 dan S2 di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Leila S. Chudori, sebagai narasumber pertama, menjelaskan tentang perjalanannya menulis novel Namaku Alam. Sejak awal penulisan novel Namaku Alam, Leila merencanakan jalan penceritaan yang memuat sebuah pencarian, identitas, dan proses menemukan jawaban yang dimulai dengan pengonsepan tokoh dalam cerita. Leila menyebut bahwa ia banyak melakukan riset dalam penyusunan novel-novelnya, tidak terkecuali saat menyusun Namaku Alam. Namun, beberapa bagian dari novel ini merupakan hasil pengembangan dari riset yang ia lakukan saat menyusun Laut Bercerita dan Pulang. Lebih lanjut, Leila menjelaskan bahwa proses riset ini membantunya dalam menentukan kepenulisan novel seperti perancangan kerangka dasar kisah yang akan ditulis, pembentukan tokoh-tokoh, finalisasi kerangka dasar cerita, serta peramuan tema yang diangkat.
“Saya selalu berusaha untuk Leila menunjukkan bahwa dalam situasi kegelapan selalu ada harapan,” jelas Leila. Sebagai contoh, Leila berusaha menunjukkan bagaimana orang-orang yang terrepresi di masa lalu tetap masih bisa bercerita melalui berbagai cara dan mediumnya masing-masing.
Dr. Sudibyo, M.Hum. memberi cahaya lain terhadap proses kreatif Leila dalam menulis Namaku Alam. Ia menjelaskan bahwa dalam novel Namaku Alam terdapat isu-isu seperti kelindan memori fotografis, distopia, dan memori traumatis. Bayangan-bayangan untuk mendapatkan keberhasilan-keberhasilan utopis di dalam novel seperti kebebasan dari tindakan perundungan pada perkembangannya mengarah kepada kegagalan, yang dalam hal ini menjadi distopia.
“Memori-memori milik Alam ini traumatis dan ia mencoba untuk menegosiasikannya,” ujar Sudibyo. Lebih lanjut, Sudibyo mengatakan pada jilid pertama ini upaya negosiasi tersebut masih belum berhasil untuk dilakukan, mimpi-mimpi buruk yang dialami di dalam novel dapat dibaca sebagai bukti dari kegagalan ini. Memori fotografi yang begitu kuat yang dimiliki oleh tokoh Alam, dalam hal ini, membuat dirinya tidak mampu untuk terlepas dari pengalaman traumatisnya di masa lalu.
T.A. Prapancha Hary dalam pemaparan materinya membahas trauma yang dialami Alam. Mas Tatung—panggilan akrabnya—berusaha untuk menjawab apakah trauma Alam bisa hilang atau melekat terus. Dalam Namaku Alam jilid pertama ini, menurut Prapancha, tokoh Alam masih menyimpan traumanya. Selalu ada pertentangan dalam diri Alam dengan dirinya sendiri. Tokoh Alam, dalam situasi ini, memiliki kondisi oedipus complex pada dirinya. Perilaku Alam yang selalu berusaha untuk melindungi orang-orang di sekitarnya, menunjukkan bagaimana Alam berusaha menjadi sosok “ayah” sebagai pelindung yang dijelaskan dalam fenomena oedipus complex. Ungkapan-ungkapan ekspresif dalam bentuk makian yang dilakukan oleh tokoh Alam di dalam novel ini sebetulnya menunjukkan bagaimana kekecewaannya yang tidak bisa dikalahkan yang kemudian terkumpul dalam bentuk makian. Harapan-harapan yang masih disimpan oleh Alam dalam situasi yang sulit membuktikan bahwa tokoh ini mempunyai talenta pengolahan emosi yang baik tersebut.
Setelah penyampaian materi dari masing-masing narasumber, kegiatan ini dilanjutkan dengan sesi tanya jawab antara peserta dengan narasumber. Peserta kegiatan begitu aktif dan mengajukan sejumlah diskusi menarik seputar novel Leila S. Chudori. Kegiatan diakhiri dengan sesi book signing dan foto bersama Leila S. Chudori.
Penulis: Humas FIB UGM