Di usianya yang menginjak 36 tahun 7 bulan 12 hari, Agnes Puspita Sari akhirnya dapat mewujudkan impiannya yang sempat tertunda untuk melanjutkan kuliah. Bagi sebagian anak muda saat ini, melanjutkan studi S2 merupakan hal yang sudah cukup umum. Namun, bagi Agnes bisa berkuliah di program magister merupakan sebuah pembuktian dan komitmen pada dirinya sendiri. Ia harus menunggu lebih dari 10 tahun untuk bisa kuliah ke jenjang selanjutnya.
Beruntung, Agnes berhasil menjadi wisudawan terbaik Program Magister Manajemen Kampus Yogyakarta pada Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) pada wisuda pascasarjana, Rabu (24/7) lalu. Ia berhasil lulus dengan predikat cumlaude dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,97 yang diraih selama studi 1 tahun 7 bulan 3 hari.
Lantas motif apa yang sebenarnya mendorong Agnes untuk melanjutkan studi? Menurutnya, jawabannya cukup sederhana. “Bisa belajar sebanyak-banyaknya adalah tentang meningkatkan peluang. Apapun itu saya yakin sebuah perubahan ke arah positif akan terjadi,” ucapnya, Jumat (8/8) di kampus UGM.
Agnes bercerita di tahun 2022, Agnes membuat sebuah keputusan besar yang merubah jalan hidupnya. Di masa pandemi Covid-19, ia mendapatkan banyak hikmah kala itu. Mimpi-mimpi yang dulunya sempat meredup, kala itu kembali berkobar terlebih dengan adanya dukungan dari sang suami untuk mewujudkan salah satu mimpinya untuk melanjutkan kuliah. Tak tanggung-tanggung, di waktu yang bersamaan Agnes membuat sebuah momen perubahan karir yang signifikan dalam hidupnya yakni resign dari pekerjaanya yang terbilang cukup mapan dan menjadi impian banyak orang. Ia sudah bekerja di Group Danone Specialized Nutrition, tepatnya di PT. Sarihusada Generasi Mahardika sebagai Production Supervisor. “Resign dari pekerjaan rutin, belajar berbisnis, dan kuliah lagi di jurusan bisnis untuk mendukung kebutuhan utama saat itu yaitu membangun bisnis sendiri,” ujarnya.
Di tahun 2022 akhirnya Agnes melanjutkan studi di Prodi Master of Business Administration (MBA) di Kampus Yogyakarta dengan mengambil Program Senior Executive MBA (SEMBA). “Ternyata mimpi 10 tahun lalu tidak berubah. Apa yang diimpikan dahulu terhambat karena keterbatasan, kini bisa dilakukan. Mimpi tidak berubah, hanya jalan untuk merealisasikan saja yang berbeda,” urainya.
Sembari merajut mimpi untuk mendapatkan gelar MBA, ia merintis bisnis di bidang Food and Beverage (FnB). Agnes menjalankan perusahaan rintisan bernama Kitchensync melalui kolaborasi dengan tiga rekannya. Kitchensync didirikan untuk menyediakan solusi bagi para pelaku bisnis FnB, terutama restoran kecil hingga menengah (UMKM), yang membutuhkan layanan dukungan operasional. Kitchensync memiliki bisnis inti yaitu menyediakan bahan baku dan produk setengah jadi, serta layanan riset dan pengembangan produk. Perusahaan ini berafiliasi dengan beberapa merek restoran seperti Nolda Pocha (restoran bertema makanan jalanan Korea), Nasi Iskandar (restoran bertema Melayu/Nasi Kandar), dan Oetak-oetak (Pempek dari Palembang), yang total cabangnya kini berjumlah lebih dari 15 cabang, tersebar di Jawa, Bali, dan Sumatra. “Selain itu kita juga memiliki merek restoran sendiri bernama Udon Mura yaitu restoran bertema Jepang yang berlokasi di Tangerang Selatan,” ucap Agnes yang menjadi Co-Founder dan COO Kitchensync.
Menjalankan bisnis bukanlah hal yang mudah, terlebih bagi dirinya yang tergolong pemain baru. Bisnis yang masih seumur jagung ini sempat mengalami kondisi maju dan mundur. Sebut saja saat awal memulai bisnis, salah satu founder tiba-tiba mundur begitu saja. Selain itu turn over karyawan cukup tinggi. “Namun, show must go on dengan berbekal visi dan misi dan jelas kami terus melanjutkan apa yang sudah dirancang dan syukurlah pada akhirnya bisa terus berlanjut hingga sekarang,” jelasnya sembari menambahkan saat ini mereka sedang mengembangkan bisnis berkelanjutan dengan merancang bisnis berbasis Cloud Kitchen.
Agnes mengaku tidak memiliki pengalaman apapun saat memulai bisnis. Namun, ia memiliki kemauan dan tekad yang kuat untuk berbisnis. Karenanya ia mendorong siapa pun yang ingin berbisnis untuk tidak takut bermimpi besar. “Mulai saja, sebesar apapun bisnis selalu dimulai dari hal kecil. Asalkan memiliki mimpi yang besar dan bentuk lingkaran pertemanan yang mendukung. Sebab, orang-orang terdekatmu adalah cerminan dirimu di masa kini dan mendatang,” tuturnya.
Menjalani kuliah sekaligus berbisnis tentu tidaklah mudah untuk dijalani. Namun Agnes mengakui dengan manajemen waktu yang baik, keduanya bisa berjalan beriringan. Untuk membantu proses pembelajaran di sela-sela merajut mimpi untuk menjadi pebisnis, ia menerapkan beberapa trik. Salah satunya dengan membuat rangkuman dari berbagai buku literatur dan slide dari dosen per chapter dengan tulisan tangan.
Upaya lain yang Agnes lakukan adalah rutin mengakses informasi melalui berbagai media pembelajaran terkait bisnis. Biasanya rutinitas itu ia lakukan 30 menit hingga 1 jam menjelang tidur. Lalu, disela-sela perjalanan dari Jakarta, kota tempat bermukim Agnes saat ini, ke Yogyakarta untuk berkuliah, ia sempatkan membaca materi yang akan dibahas saat perkuliahan. “Saya memanfaatkan waktu perjalanan kereta Jakarta-Jogja setiap minggu untuk membaca materi yang akan dibahas di perkuliahan esok harinya di kelas weekend atau fullday di hari Sabtu. Selain itu juga melakukan diskusi dengan teman-teman kuliah untuk mendapatkan sudut pandang yang berbeda-beda dari berbagai profesi dan industri,” paparnya.
Agnes menyampaikan menjadi bagian dari keluarga besar MM UGM Yogyakarta adalah sebuah kebanggaan dan kesempatan emas yang tidak semua orang bisa rasakan. Di sini, dia tidak hanya belajar tentang teori dan konsep-konsep manajemen, tetapi juga menyerap berbagai nilai-nilai penting yang akan membentuk karakter dan kesiapan kita dalam menghadapi dunia profesional. “Beberapa nilai berharga yang saya ambil selama menjalani kuliah adalah soal integritas dan etika, kemandirian dan inovasi untuk menjadi pemimpin yang visioner, serta kolaborasi dan kerja sama. Nilai-nilai itu sangat membantu saya, terlebih dalam mengembangkan bisnis,” pungkasnya.
Reportage: Kurnia Ekaptiningrum
Editor : Gusti Grehensob