
Tidak banyak yang mengenal Kampung Atuka, sebuah kampung kecil di Distrik Mimika Tengah, Kabupaten Mimika, Papua. Letaknya jauh, nyaris di ujung timur Indonesia. Untuk sampai ke sana, kita harus berkendara selama satu setengah jam menuju Pelabuhan Pomako, lalu menyusuri sungai selama dua jam dengan perahu kayu sebelum akhirnya sampai di Atuka. “Kami harus menunggu air pasang terlebih dahulu agar perahu bisa jalan,” kata Rustamaji, Direktur Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) UGM saat akan mengunjungi kegiatan tim mahasiswa KKN PPM yang mengabdi di kampung tersebut selama 55 hari, Jumat (1/8).
Saat tiba di Kampung Atuka, langit biru membentang. Tak ada suara kendaraan, tak ada deru mesin, yang membuat udaranya pun bersih tidak berpolusi. Di sini, orang-orang berjalan kaki kemanapun mereka pergi. Jalan setapak menyatu dengan suara alam, dengan desir angin laut dan gelak tawa anak-anak yang bermain di lapangan tanah. “Kami tiba di pondokan mahasiswa UGM tempat mereka tinggal. Teman-teman mahasiswa UGM menyambut kami dengan hangat dan menyuguhi bakpao serta kue kelapa berwarna hijau, yang kami lupa tanyakan namanya,” kata Rustamajie.
Sambil istirahat sejenak dan menyantap sajian tersebut, Rustamadjie bersama rombongan tim UGM berbagi cerita dengan teman-teman mahasiswa tentang progres program yang telah dijalankan, tantangan yang dihadapi, serta dinamika yang mereka alami selama tinggal di Atuka. Beberapa anak kecil tampak ikut duduk di teras, sesekali mengintip malu-malu, lalu tertawa saat diajak bercanda oleh kakak-kakak mahasiswa.
Saat matahari perlahan condong ke barat, teman-teman mahasiswa mengajak berkeliling kampung, menyusuri jalan yang membelah deretan rumah panggung warga. Di tengah perjalanan, air laut perlahan mulai menggenangi jalan yang dilewati. Rupanya, fenomena alam ini sudah biasa terjadi di Atuka saban sore. “Karena tak tahu, kami melepas sepatu dan lanjut berjalan tanpa alas, sementara mahasiswa yang telah terbiasa, sudah siap dengan sandal karetnya dan melangkah dengan tenang,” katanya.
Sepanjang perjalanan, anak-anak dan warga yang memandang dengan rasa ingin tahu, seolah ingin mengenal lebih dekat.“Selamat sore.”, sapaan sederhana itu datang dari mereka yang berpaspasan dengan rombongan.
Sembari berjalan, teman-teman mahasiswa UGM menceritakan kehidupan masyarakat Atuka, tentang batas-batas wilayah adat yang tidak boleh dilanggar, tentang bagaimana masyarakat bertahan hidup di Atuka, tentang pendidikan yang menjadi tantangan di kampung ini.
Di Atuka, listrik hanya menyala selama enam jam sehari, dari pukul 18.00 hingga Tengah malam. Masyarakat Atuka hanya membutuhkannya untuk penerangan di malam hari. Sementara untuk memenuhi kebutuhan air bersih, masyarakat mengandalkan air hujan yang mereka tampung. Akses air bersih masih terbatas, karena di Atuka, air tanahnya bercampur dengan air laut. “Kami turut merasakan keterbatasan ini selama di Atuka sebab air hujan yang sudah tidak turun selama beberapa hari. Kami harus mengambil air dari penampungan umum menggunakan ember, lalu membawanya ke pondokan untuk mandi dan kebutuhan lainnya,” kenangnya.
Kehidupan di Kampung Atuka berjalan dalam keterbatasan. Makan bukanlah soal menu, tapi soal mengisi perut agar dapat melanjutkan hari. Tak jarang, warga hanya menyantap nasi putih tanpa lauk. “Salah satu anak di sini bercerita bahwa dia makan nasi dengan taburan bubuk kopi untuk memberi rasa pada makanannya,” cerita Kania Irianty Riahta Sembiring, salah satu mahasiswa KKN PPM UGM.
Menurut kormanit mahasiswa KKN ini, masyarakat Atuka masih belum terbiasa untuk menyediakan makanan yang bernutrisi bagi diri dan keluarganya. Jika beruntung, mereka bisa menyantap karaka, atau kepiting, hasil tangkapan mereka saat air laut surut.
Keterbatasan yang ada di Atuka tidak membuat masyarakatnya menyerah. Bagi mereka, hidup yang mereka kenal adalah kehidupan yang ada Atuka, terlepas dari bagaimana orang luar memandang kehidupan di Atuka yang mungkin penuh dengan tantangan.
Tidak terasa, sampailah tim UGM meninjau SD Negeri Atuka, di mana para mahasiswa UGM dari divisi infrastruktur sedang memasang Instalasi Pemanen Air Hujan (IPAH) di sana. IPAH menjadi salah satu program unggulan mereka di Atuka. IPAH ini dipasang di sekolah bukan tanpa alasan. “Kita ingin agar semua masyarakat di Atuka bisa mengaksesnya tanpa harus meminta izin,” kata Aldo Edward, salah satu anggota mahasiswa KKN lainnya.
IPAH masih setengah terpasang, namun tim UGM melanjutkan perjalanan menuju SMP Negeri Atuka yang letaknya di ujung kampung. Menyaksikan banyak anak-anak yang sedang bermain di lapangan. Ada yang bermain sepak bola, ada yang bermain berkelompok seperti kasti, ada yang duduk melihat, namun kami mendengar tawa lepas bahagia mereka semua.
Sembari menyaksikan anak-anak bermain, tim UGM berbincang hangat dengan bapak-ibu guru di SMP Negeri yang kebetulan sedang berada di sekolah meskipun jam pelajaran telah usai. Mereka menceritakan tentang anak-anak Atuka yang masih belum menganggap pendidikan formal sebagai sesuatu yang penting.
Pak Siswa, salah satu guru di SMP Negeri Atuka, berbagi tentang realita yang dihadapinya setiap tahun. Dari sekitar 50 siswa yang lulus, hanya sekitar 15 anak yang melanjutkan ke jenjang SMA, sisanya berhenti di tengah jalan. “Kesadaran akan pentingnya pendidikan masih sangat minim di sini,” ujarnya.
Banyak orang tua, lanjutnya, lebih memilih mengajak anak-anak mereka mencari kepiting di hutan bakau daripada membiarkan mereka duduk di bangku sekolah. Bagi mereka, pendidikan terasa jauh dari kebutuhan sehari-hari.
Mendengar itu, ada rasa sesak di dada yang sulit dijelaskan. Sedih, karena di tempat lain anak-anak bisa bermimpi tinggi, sementara di Atuka, tak semua anak diberi kesempatan untuk sekadar melanjutkan sekolah. Pendidikan, yang seharusnya jadi jembatan masa depan, justru masih terlihat sebagai kemewahan.
Matahari sudah hampir tenggelam, dan tim UGM memutuskan untuk berpamitan pada bapak-ibu guru untuk pulang ke pondokan mahasiswa. Sesampainya di pondokan, tim UGM dipersilahkan menggunakan toilet di Kantor Distrik Mimika Tengah yang lokasinya berseberangan dengan pondokan mahasiswa KKN. Sayangnya, satu-satunya fasilitas yang termanfaatkan oleh masyarakat adalah toilet di kantor itu.
Kantor Distrik Mimika Tengah tidak beroperasi sebagaimana fungsinya kantor karena para perangkat distrik bekerja dari rumah. Tim UGM sempat masuk dan menengok isi kantor yang sunyi dengan fasilitas yang tampak lama tak tersentuh, tertutup debu tipis. Tempat yang seharusnya menjadi pusat pelayanan masyarakat itu kini justru seperti kehilangan fungsinya. “Ada rasa sayang melihat potensi yang belum sepenuhnya dimanfaatkan untuk masyarakat sekitar,” kata Destina, anggota tim UGM.
Setelah membersihkan diri, rombongan tim UGM menikmati makan malam bersama mahasiswa. Mahasiswa memasak sayur kangkung dan memanaskan rendang yang dibawa tim UGM sebagai oleh-oleh. Hidangan sederhana itu terasa begitu nikmat, disajikan dalam suasana kebersamaan yang hangat.
Tak lama, Kepala Adat di Kampung Atuka, Papi Leo, begitu mahasiswa memanggilnya, menyambangi pondokan mahasiswa KKN yang telah menjadi rutinitasnya selama satu bulan terakhir ini. Setiap hari, beliau ingin memastikan bahwa mahasiswa UGM dalam keadaan yang baik. Di kesempatan tersebut, beliau berbagi tentang bagaimana hari itu dia pergi ke pusat kota di Kabupaten Mimika untuk mengambil insentif perangkat kampung. Dari Rp600.000 yang ia terima, Rp800.000 ribu uang habis untuk ongkos perahu. “Tapi Papi tetap senang,” katanya sambil tersenyum.
Papi Leo juga bercerita tentang perasaannya terhadap mahasiswa UGM di Kampung Atuka. Menurutnya, kedatangan mereka di kampung ini terasa seperti mimpi. “Saya tidak pernah membayangkan bahwa kampung kami yang jauh dari peradaban ini bisa didatangi oleh mereka,” katanya haru. “Papi Leo senang sekali melihat anak-anak muda ini mau tinggal dan berbagi waktu dengan kami,” sambungnya sambil tersenyum. “Mereka bukan hanya datang membawa ilmu, tapi juga kasih dan perhatian, dan itu sangat berarti,” terangnya.
Kepala Distrik Mimika Tengah juga sempat menyampaikan harapannya, agar suatu saat nanti, program KKN-PPM UGM bisa menjangkau kampung-kampung lain di wilayah ini, tak hanya berhenti di Atuka. Baginya, kehadiran para mahasiswa seperti membawa semangat baru: ada warna, energi, dan harapan yang terasa hidup kembali di tengah keseharian warga.
Tentu bagi mahasiswa KKN PPM UGM, keberadaan mereka di Atuka bukan cuma soal menjalankan program pengabdian dari kampus. Lebih dari itu, ini jadi perjalanan belajar tentang kehidupan yang sesungguhnya.“Selama tinggal di sini, saya belajar banyak tentang arti berbagi dan rasa cukup,” cerita Fatasya, mahasiswa dari Sekolah Vokasi. “Hal-hal yang sering kita anggap biasa, ternyata bisa jadi sesuatu yang sangat mewah bagi orang lain,” tambahnya.
Setelah berbincang dan berbagi cerita, tim UGM pun beristirahat di pondokan bersama mahasiswa, Sebelum tidur, mereka diingatkan dengan untuk mengenakan kaos kaki. Katanya, di malam hari sering muncul serangga kecil bernama agas yang bisa membuat kulit gatal dan perih, terutama di bagian kaki. Bagi mahasiswa yang sudah lebih lama tinggal di Atuka harus menahan rasa gatal, bahkan sampai kulit mereka terluka karena gigitan agas. Rasa iba dan kagum bercampur jadi satu, melihat bagaimana mereka tetap semangat menjalani hari-hari pengabdian, meski harus beradaptasi dengan tantangan-tantangan kecil seperti itu.
Esok paginya, tim UGM menanti air sungai pasang agar perahu bisa kembali melaju. Di pelabuhan, teman-teman mahasiswa bersama anak-anak kampung ikut mengantar. Ada yang menjabat tangan, melambaikan tangan, dan senyum yang ditahan agar tak berubah jadi tangis.
Pimpinan rombongan, Kepala Subdirektorat KKN, Nanung Agus Fitriyanto, tak bisa menyembunyikan rasa haru. Ia mengatakan bahwa KKN-PPM UGM di Atuka ini begitu spesial. Bukan hanya karena letaknya yang nyaris di ujung timur Indonesia, tapi karena untuk pertama kalinya mahasiswa UGM benar-benar menginjakkan kaki dan mengabdi langsung di Kabupaten Mimika, Papua. “Semoga ini bukan yang pertama dan terakhir. Semoga akan ada langkah-langkah kebaikan lainnya yang menyusul dari UGM untuk Papua,” katanya dengan penuh harap.
Perahu yang ditumpangi tim UGM kembali menyusuri sungai, meninggalkan Atuka. Dari perjalanan rombongan UGM ini, diketahui bahwa masyarakat Atuka bertahan dengan kesederhanaan. Namun, disitulah letak pelajarannya: hidup adalah tentang rasa cukup, saling bantu, dan menemukan kebahagiaan dalam keterbatasan.
Penulis : Bilqis/DPkM UGM
Editor : Gusti Grehenson
Foto : DPkM