Aktris kawakan, Suti Karno (58), mengunjungi Unit Layanan Disabilitas, Universitas Gadjah Mada pada Jumat (10/1). Pemeran Atun di sinetron Si Doel Anak Sekolahan yang tayang di era 90an itu berbagi kisah tentang perjuangannya selama menjadi disabilitas. Kisah itu pun memberikan inspirasi bagi seluruh penyandang disabilitas agar tetap mengejar cita-cita dan terus berkarya.
Setelah didiagnosis menderita diabetes selama 18 tahun, Suti menjalani perawatan intensif dengan beberapa operasi. Proses pengobatan tersebut menyebabkan banyak jaringan kulit kakinya mati, dan dikhawatirkan akan berdampak pada bagian tubuh yang lain. Akhirnya, kaki kanan Suti diamputasi setelah melalui berbagai pertimbangan.Keputusan tersebut membuat Suti sempat terguncang, namun berkat dukungan orang terdekat, Suti mulai membiasakan diri dengan kondisi barunya tersebut.“Saya kan, baru menjadi disabilitas kurang lebih dua tahun. Saya mengakui ada proses untuk menerima itu semua,” ungkap Suti.
Kini, ia tidak hanya memupuk semangat hidup tinggi dalam dirinya, tapi juga menyebarkan kesadaran mengenai inklusivitas bagi penyandang disabilitas. Setelah sempat vakum, ia kembali membuat konten di channel YouTube-nya untuk menyebarkan kisah inspiratif dan memberi dukungan untuk para difabel.
Dalam diskusi ini, Wuri Handayani, Dosen FEB UGM sekaligus salah satu pegiat inklusivitas di lingkungan kampus turut membagikan kisahnya. Ia mengaku sejak pertama kali menjadi disabilitas, banyak kesulitan yang ia alami. Wuri yang saat itu merupakan mahasiswi Farmasi, Universitas Airlangga memiliki hobi mendaki gunung. Nahasnya, ia mengalami kecelakaan jatuh dari ketinggian hingga menyebabkan kelumpuhan. “Awalnya dokter tidak memberitahu kalau saya lumpuh permanen, karena untuk memberi saya waktu untuk menerima. Jadi saya kira cuma temporal,” terang Wuri.
Setelah kejadian tersebut, anehnya pihak fakultas memberikan kebijakan pada Wuri untuk pindah ke fakultas lain. Wuri pun sempat kebingungan karena tidak ada masalah dengan kondisi intelektual dan akademiknya pasca kecelakaan. Namun pihak fakultas tidak memberi keterangan, alasannya hanya karena farmasi akan sulit ditempuh dengan kondisi Wuri.
Lambat laun, penolakan pihak fakultas tersebut semakin banyak datang dari lingkungan belajarnya. “Dulu saya kan setiap kelas perlu dibopong karena tidak ada jalur lift atau kursi roda untuk ke lantai 1 dan 2. Tapi di kelas juga saya merasakan penolakan, bahkan dari dosen,” tambah Wuri.
Akhirnya setelah 4 semester ditempuh, ia mengulang pembelajaran kembali di Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi. Pilihannya pada akuntansi sebenarnya didasarkan karena proses pembelajaran yang minim kegiatan fisik dan bisa dilakukan secara mobile.
Wuri berhasil lulus dengan predikat cumlaude dan meniti karir. Berlatar belakang keluarga yang berprofesi sebagai guru, sejak kecil Wuri bercita-cita menjadi pengajar. Sayangnya, jalan yang dilalui begitu terjal dan sulit. Beberapa kali ia mendaftar, penolakan terus ia dapatkan bahkan dengan sejumlah prestasi akademik yang mumpuni. “Sebelumnya penolakan itu tidak pernah diberi keterangan. Tapi pada satu waktu, ada surat keterangan yang menyatakan bahwa saya ditolak karena saya memakai kursi roda,” kata Wuri.
Surat keterangan itu yang menjadi modal pertamanya untuk memperjuangkan hak-hak disabilitas pada pemerintah. Wuri mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya terhadap anggapan bahwa disabilitas tidak sehat jasmani dan rohani. Ia terus memperjuangkan tuntutan tersebut hingga pada tahun 2009 Wuri berhasil memenangkan gugatan. “Banyak yang mengira saya cuma memperjuangkan diri sendiri. Padahal saat itu saya ingin agar disabilitas diberikan ruang untuk dapat pekerjaan,” ujar Wuri.
Diskusi Suti Karno dengan Wuri diakhiri dengan sejumlah upayanya untuk mempublikasi awareness mengenai disabilitas. Perjuangannya saat ini ia lanjutkan dengan mewujudkan inklusivitas di lingkungan kampus UGM. Termasuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) yang ia rintis agar sivitas difabel UGM mendapat tempat untuk bernaung dan mengasah kemampuannya.
Meskipun baru diresmikan akhir 2024 lalu, ULD telah diinisasi sejak lama berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016. Baik difabel dari kalangan mahasiswa, tenaga kependidikan, maupun dosen, dapat mengakses pelayanan di ULD ini. Selain itu, ULD akan menjadi pusat penelitian untuk memperjuangkan hak-hak disabilitas di ranah yang lebih luas. “Harapannya ini bisa menjadi sarana untuk menyuarakan, dan mewujudkan kampus inklusif,” tambah Wuri.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie