Center for Digital Society (CfDS) UGM merilis hasil riset terkait tren pemilu 2024 dari media sosial X. Salah satu hasilnya menunjukkan adanya indikasi pergerakan pasukan siber (cyber troop) pada semua bakal calon presiden (bacapres).
“Hal tersebut mencerminkan kesamaan antara ketiga bacapres yang menaruh perhatian terhadap kampanye di media sosial,”jelas Manajer Riset CfDS UGM, Agung Tri Nugraha, dalam konferensi pers bertema “Tren Bacapres pada Platform X: Perang Opini, Cyber Troop, hingga Cawe-cawe Jokowi” di Digital Intelligence Lab (DIL) FISIPOL UGM, Rabu (27/09).
Temuan tersebut dikatakan Agung memperkuat riset yang telah dirilis oleh Oxford Internet Institute pada tahun 2019 yang berjudul Global Inventory of Organised Social Media Manipulation. Selain itu juga riset yang dilakukan oleh Sastramidjaja dan Wijayanto (2022) tentang Cyber Troops, Online Manipulation of Public Opinion and Co-Optation of Indonesia’s Cybersphere.
Agung menyampaikan penelitian dilakukan untuk merespons tren terkini yang berpengaruh terhadap perbincangan online dan dukungan kepada tokoh-tokoh politik di Indonesia. CfDS melakukan pengambilan data dari platform media sosial X pada bulan Juli hingga Agustus tahun 2023. Data tersebut mencakup berbagai macam cuitan, komentar, dan interaksi yang terkait dengan pemilihan presiden dan isu-isu politik terkini.
“Kami mengumpulkan sebanyak 59.155 posts dengan menggunakan beberapa kata kunci terkait Pemilu 2024, Capres, dan Partai Politik. Setelah menghapus posts yang duplikatif, tersisa 50.503 posts,”ungkapnya.
Temuan lain menunjukkan adanya tingkat sentimen negatif yang signifikan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam percakapan online. Dalam analisis terhadap post-post bersentimen negatif, kata Jokowi muncul sebagai salah satu kata yang dominan muncul.
“Hasilnya, analisis lanjutan dari kata Jokowi tersebut ditemukan 10 trigram teratas, yang didominasi oleh ‘cawe-cawe Jokowi’, ‘cawe-cawe capres’, ‘capres didukung Jokowi’, dan ‘Jokowi dukung Ganjar’,”paparnya.
Lebih lanjut Agung menyampaikan interaksi warganet X perihal figur-figur politik di Indonesia, para bacapres yang akan berkompetisi menjelang Pemilu 2024 tidak luput dari perhatian. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, Prabowo Subianto muncul sebagai bacapres Gerindra yang paling banyak disebut dengan penyebutan nama tanpa mention/tag dalam cuitan dan komentar netizen X.
“Setelah dilakukan pendalaman, post yang duplikatif berkaitan dengan Prabowo, di-posting oleh satu akun sebanyak 101 kali cuitan. Pola ini berbeda dengan post duplikatif bersentimen positif yang diduplikasi oleh rata-rata lebih dari lima akun,” imbuhnya.
Sementara itu, dari social network analysis pada bacapres PDIP, Ganjar Pranowo mendapatkan mention dan reply yang paling banyak dibanding bacapres lainnya, disusul oleh Anies.
“Ganjar menjadi bacapres yang paling banyak di-mention dan di-reply. Sementara asosiasi terhadap post yang terkait Ganjar, didominasi dengan kata kunci dan tagar ganjarcapres yang di-posting oleh lima akun. Sedangkan post bersentimen negatif melibatkan lebih dari tujuh akun per post, yang berbeda dengan Prabowo,”urainya.
Agung memaparkan untuk interaksi paling tinggi dalam postingan dan komentar di media sosial X ada pada kluster audiens Anies Baswedan. Dari pendalaman SNA utamanya top modularity classes, kluster audiens Anies yang didominasi oleh akun @aniesbaswedan, @pdemokrat, dan @bachrumachmadi, menciptakan klaster dengan interaksi yang paling aktif dengan persentase 12,28%.
“Dari temuan tersebut kita meyakini bahwa media sosial, khususnya X akan memainkan peran kunci dalam Pemilu 2024,” terangnya.
Melihat kondisi tersebut Agung menyampaikan sejumlah rekomendasi CfDS UGM. Pertama, para elite dan partai politik seyogianya dapat memanfaatkan media sosial sebagai sarana kampanye yang positif serta membangun guna menciptakan iklim demokrasi yang lebih sehat. Kedua, bagi para elite dan parpol diharapkan bis amemanfaatkan media sosial sebagai sarana kontestasi gagasan, ide serta visi misi dibandingkan untuk menyebarkan kampanye hitam. Meski pun kampanye negatif tidak dilarang secara hukum, tetapi pelaksanannya harus didasarkan pada data yang valid dan bisa dipertanggungjawabkan.
Ketiga, pemerintah dan platform media sosial diharapkan bisa lebih proaktif dalam menidak konten-konten yang bersifat disinfromasi sehingga dapat diredam lebih cepat penyebarannya.
“Masyarakat juga diimbau untuk bersikap lebih kritis terhadap isu, tren, dan konten yang tiba-tiba muncul secara masif. Jangan sampai terjerumus pada ujaran kebencian yang bis amemicu perpecahan dan polarisasi,”pungkasnya.
Penulis: Ika