Center for Indigenous and Cultural Psychology (CICP) Universitas Gadjah Mada (UGM) menggelar diseminasi penelitian dalam acara Angkringan 4 dengan tema Disabilitas, Kesiapsiagaan, dan Hubungan Sosial. Acara ini diadakan secara bauran di Aula Gedung D Fakultas Psikologi UGM dan Zoom Meeting pada Kamis (16/5).
Kepala Inklusi Disabilitas Nossal Institute for Global Health Universitas Melbourne, Alex Robinson, Ph.D., dan tim peneliti CICP, Fega Ayu P, S.Psi., menjadi narasumber pada sesi pertama acara ini dengan tema “Penyandang Disabilitas dan Kesiapsiagaan Darurat di Indonesia dan Filipina”.
Alex menyampaikan bahwa disabilitas bukan lagi menjadi isu individu, melainkan isu masyarakat yang harus sangat diperhatikan. “Pada kesempatan ini kita akan menjelaskan bagaimana penyandang disabilitas saat menghadapi situasi darurat yang tentu akan semakin meningkatkan risiko karena penyandang disabilitas memiliki keterbatasan, baik keterbatasan informasi maupun keterbatasan akan kondisi yang dimiliki,” ujarnya.
Alex juga menjelaskan secara detail aksi antisipatif sebagai modalitas penyaluran bantuan kemanusiaan. “Enam hal yang perlu dipertimbangkan sebelum menjalankan aksi antisipatif adalah penentuan target, peringatan dini, penyedia jasa keuangan, biaya universal dan biaya spesifik disabilitas, pengeluaran minimum dan maksimum, serta pengambil keputusan,” jelasnya.
“Terdapat kesenjangan informasi tentang bagaimana penyandang disabilitas mengakses dan merespon pesan peringatan dini, termasuk implikasi dari aksi dan sumber daya yang dibutuhkan untuk meningkatkan efektivitas sistem peringatan dini,” imbuh Fega menanggapi.
Co-researcher turut menyampaikan bahwa hasil penelitian mengungkap pemahaman yang beragam tentang sistem peringatan dini. Ia menekankan perlunya standarisasi sistem peringatan dini yang mencakup pemahaman masyarakat dan sikap untuk merespon. “Dalam hal ini, pengumuman dari Pak Dukuh banyak diandalkan oleh para responden penilaian. Pemimpin juga perlu diberdayakan untuk menyampaikan informasi secara akurat dan terkoordinir,” jelasnya.
Berkenaan dengan cara penyandang disabilitas mengenali tanda-tanda bencana, mereka banyak mengandalkan informasi dari media massa, melihat tanda-tanda alam, pengumuman dari kepala desa, dan ajakan informasi dari tetangga.
Terakhir, co-researcher menjelaskan tentang tantangan apa saja yang dihadapi saat akan melakukan evakuasi bencana pada disabilitas berdasarkan pada hasil penelitian yang telah dilakukan.
“Pertama, data ragam disabilitas berbeda, misalnya di data tuli namun ternyata tidak atau mungkin justru mengalami cacat ganda. Kedua, hambatan komunikasi dengan responden dan warga setempat. Ketiga, responden membawa benda berbahaya. Keempat, tantangan dengan Juru Bicara Isyarat (JBI) terkait jadwal. Kelima, responden dengan disabilitas ganda (tuli + grahita) sulit memahami pertanyaan dan tidak menjawab pertanyaan,” ujarnya.
Penulis: Relung Fajar Sukmawati