![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/pajak-freepik-765x510.jpg)
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) RI secara resmi menetapkan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) atau Core Tax Administration System (Coretax) sebagai sistem perpajakan di Indonesia sejak awal Januari lalu. Sayangnya, hingga saat ini semenjak peluncurannya, masih banyak kendala dan keluhan yang disampaikan oleh masyarakat terkait sistem baru tersebut. Terlebih dengan biaya pembuatannya yang mencapai 1,3 triliun rupiah digadang melebihi pembuatan DeepSeek dan ChatGPT.
Merespons hal tersebut, Ekonom Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE menyampaikan persoalan Coretax belum berfungsi secara optimal dikarenakan proses implementasi kebijakan perpajakan ini dilakukan terlalu terburu-buru dan kurang matang. “Ada kesan bahwa proses pra-implementasi dilakukan dengan terburu-buru dan kurang matang, mengingat waktu persiapannya yang sangat singkat antara pertengahan hingga akhir Desember lalu,” ujarnya, Sabtu (15/2).
Rijadh menuturkan ada indikasi bahwa perencanaan pelaksanaan dan mitigasi risiko belum dilaksanakan secara optimal. Bahkan tahapan implementasi terutama pada proses deployment, data migration, dan load balancing yang tidak berjalan optimal, kemudian menyebabkan sejumlah masalah teknis terjadi dan dikeluhkan oleh berbagai pihak, seperti gangguan pada sistem, kesulitan dalam migrasi data, serta minimnya pelatihan bagi pengguna akhir.
Lebih lanjut, ia memaparkan ada 4 faktor yang menjadi penyebab utama permasalahan pada Coretax. Pertama, sistem yang belum siap menangani akes massal. Hal ini terjadi karena adanya lonjakan traffic secara real-time, sehingga menyebabkan terjadinya bottleneck pada jaringan dan sistem yang membuat waktu respons server melambat dan sulit diakses.
Kedua, adanya bug pada beberapa fungsi penting sistem seperti proses pelaporan, validasi data, dan otomatisasi perpajakan yang masih mengalami runtime errors dan data validation failures. Riyadh menilai proses quality assurance (QA) dan user acceptance testing (UAT) tampaknya belum sepenuhnya dilakukan secara menyeluruh sehingga hal ini bisa terjadi.
Ketiga, kapasitas sistem yang tidak mencukupi dan arsitektur sistem yang tidak efisien. Rijadh menjelaskan bahwa arsitektur yang didesain tidak siap untuk skalabilitas tinggi, sehingga sistem mudah mengalami service disruptions ketika volume data melonjak. “Infrastruktur server yang digunakan nampaknya belum dioptimalkan untuk menangani high-volume data processing dan kompleksitas transaksi perpajakan dalam skala besar,” jelasnya.
Terakhir, kelemahan dari pemakaian Commercial Off-The-Shelf (COTS) software. Coretax yang dibangun dengan basis COTS masih menjawab solusi generik saja, sedangkan perpajakan di Indonesia memiliki karakteristik yang unik, sehingga diperlukan customization untuk menjawab hal tersebut. “Perlu dilakukan rollout program secara bertahap hingga siap digunakan,” katanya.
Meski demikian, Rijadh menegaskan bahwa ide di balik Coretax sebenarnya sangat baik dan strategis. Menurutnya, sistem ini merupakan bagian penting dari reformasi perpajakan yang bertujuan untuk memperkuat administrasi pajak melalui digitalisasi. Reformasi perpajakan ini juga bertujuan untuk memperbaiki tax gap yang ada di Indonesia.“Tax gap yang tinggi menunjukkan adanya potensi penerimaan pajak yang belum optimal,” jelas Rijadh.
Rijadh menilai, melalui Coretax pemerintah menargetkan penurunan tax gap, peningkatan tax ratio, serta perbaikan kualitas data perpajakan. Menurutnya, Coretax sebenarnya berpotensi untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan integritas data perpajakan di Indonesia.
Lebih lanjut, Coretax memungkinkan perbaikan manajemen basis data perpajakan. Sistem ini dapat membantu memperbaiki dan menyinkronkan data wajib pajak dari berbagai sumber secara otomatis, sehingga data yang dimiliki oleh DJP menjadi lebih lengkap dan valid. Melalui sistem yang terintegrasi pula, Coretax memiliki potensi untuk mencakup seluruh proses administrasi, mulai dari pendaftaran, pelaporan, hingga pengawasan perpajakan.
Lalu, ia pun menilai bahwa biaya proyek yang mencapai 1,3 triliun ini termasuk hemat, jika dibandingkan dengan proyek serupa di berbagai negara yang bisa mencapai 7 triliun. Hanya saja, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses implementasi Coretax. Pengujian sistem yang lebih baik, pelatihan yang komprehensif untuk pengguna akhir, serta perbaikan berkelanjutan sangat diperlukan agar manfaat sistem ini dapat dirasakan sepenuhnya oleh seluruh pemangku kepentingan. Perbaikan tata kelola implementasi, keterbukaan informasi, dan juga pengawasan dari berbagai pihak seperti DPR untuk memastikan berjalannya proyek ini sangat diperlukan.
Selain itu, adanya komunikasi dan edukasi kepada pengguna akhir atau masyarakat pun sangat penting. Menurutnya, sistem yang baik hanya akan efektif jika pengguna dapat mengoperasikannya dengan nyaman dan efisien.“Bila setiap tahapan pengembangan sistem informasi, mulai dari analisis kebutuhan hingga implementasi penuh, dilakukan dengan baik, Coretax bisa menjadi pondasi penting bagi reformasi perpajakan di Indonesia,” harapnya.
Rijadh berpendapat untuk saat ini menunda atau memparalelkan penggunaan Coretax dengan sistem legacy merupakan langkah yang bijak, terutama jika tujuannya untuk meminimalkan risiko teknis operasional sambil memastikan sistem baru berjalan stabil. Melalui pendekatan parallel running ini pula, identifikasi kelemahan sistem baru dapat dilakukan secara bertahap, beriringan dengan tetap mempertahankan layanan administrasi perpajakkan yang berjalan dengan menggunakan sistem lama sebagai cadangan.
Namun, Rijadh mengatakan strategi tersebut sangat bergantung pada 4 poin penting, yaitu evaluasi sistem secara menyeluruh, akuntabilitas dan komunikasi perbaikan, manajemen risiko proyek, dan juga integrasi data lama ke sistem baru. Keempat hal tersebut harus dilaksanakan untuk menjamin strategi parallel ini berhasil dijalankan.“Penerapan sistem hendaknya tidak mass rollout jika belum siap. Phase rollout dengan perbaikan terus menerus akan lebih baik,” ujarnya.
Rijadh pun berharap bahwa Coretax ini berjalan sesuai dengan tujuan strategisnya, yaitu untuk meningkatkan kualitas administrasi perpajakan di Indonesia. “Menurut saya jika semua pihak berkomitmen untuk perbaikan, Coretax bisa menjadi game changer bagi digitalisasi perpajakan di Indonesia,” ujarnya.
Bahkan, Rijadh mengutip apa yang pernah Luhut Binsar Pandjaitan, sebutkan di media, bahwa World Bank menyebutkan, jika Indonesia merupakan salah satu negara yang paling jelek dalam menghimpun pajak, dan memperkirakan apabila mampu mengelola pajak secara optimal, maka penerimaan negara dapat meningkat hingga 6,4 persen dari Produk Domestik Bruto. Angka ini setara dengan tambahan pendapatan sebesar Rp 1.500 triliun.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik