![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/coding-man-1-1-764x510.jpg)
Popularitas DeepSeek, aplikasi chatbot berbasis kecerdasan buatan (Artificial Intelligent) asal China, mulai mendapat beragam penolakan dari sejumlah negara. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Australia, Irlandia, Italia, Taiwan, Korea Selatan, dan India memutuskan untuk memblokir DeepSeek dengan alasan keamanan data yang dihimpun oleh aplikasi tersebut.
Peneliti isu masyarakat digital sekaligus Deputi Sekretaris Center for Digital Society (CfDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIPOL), Iradat Wirid, mengatakan pemblokiran tersebut sebagai proteksi yang baik dan lumrah karena setiap negara memiliki kedaulatan digital yang memang harus dipegang teguh. “Beberapa negara yang menolak pun, belum pada level pemblokiran di masyarakat ya, terbatas di pemerintahan. Ini merupakan langkah protektif untuk memberikan sinyal bahwa DeepSeek perlu dipantau serius karena dianggap tidak transparan terkait penggunaan data,” jelasnya, kamis (13/2).
Iradat menjelaskan, secara umum adanya DeepSeek memberikan alternatif bagi masyarakat, developer atau pekerja-pekerja yang memang mampu mengoptimalisasi tools ini untuk tidak bergantung pada ChatGPT atau tools lain yang sudah ada. Hingga saat ini di Indonesia memang belum ada laporan permasalahan serius untuk DeepSeek, namun pemerintah sebagai regulator yang berpegang pada beberapa UU seperti ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), PDP (Pelindungan Data Pribadi), serta Perpres Keamanan Siber harus tegas dan taat apabila memang ada privacy policy dari Deepseek yang dianggap merugikan negara, dalam hal ini potensi kebocoran data rahasia negara, dan merugikan masyarakat seperti kebocoran data pribadi.
Ia berujar pemerintah sebaiknya memang membiasakan diri untuk melakukan penilaian pada tiap-tiap aplikasi atau teknologi yang masuk untuk memastikan semua taat pada aturan hukum yang memang negara kita sudah miliki. “Jangan hanya keputusan reaktif karena mengikuti negara lain dan viralitas di media sosial. Aturan hukum kita sudah memiliki indikator yang bisa mengukur apakah perlu dilarang atau dibatasi atau bahkan jalan saja?” ujarnya.
Menurut Iradat, akar masalah yang dihadapi Indonesia dalam mengatur penggunaan platform semacam DeepSeek adalah kecakapan dalam literasi digital. Kemampuan masyarakat dalam memahami potensi masalah tentang keamanan digital masih sangat lemah. Masyarakat sering abai pada banyak hal apabila ada iming-iming ‘gratis’ pada sebuah penawaran, terutama aplikasi atau teknologi. “Tentu yang harus dilihat lebih dalam, apa konsekuensi dari hal-hal yang gratis ini. Apakah ada data collecting yang bermasalah? Apakah ada potensi kejahatan di masa depan? Masyarakat harus lebih aware akan hal-hal ini,” tegasnya.
Iradat menekankan jika masyarakat waspada akan ‘barang baru’, semakin baik nantinya karena masyarakat punya kemampuan personal untuk memproteksi dirinya di dunia digital. Terkait DeepSeek, selama masih bisa mengaksesnya berarti pemerintah tidak menganggap aplikasi ini sebagai pelanggar regulasi. Namun, masyarakat dihimbau untuk bisa banyak membaca pemberitaan perihal Deepseek ini. “Kalau memang ragu ya jangan digunakan saja,” urainya.
Ia lalu memberikan saran untuk penggunaan DeepSeek ataupun aplikasi-aplikasi lain yang terus bermunculan di era digital saat ini. Penggunaan e-mail baru untuk login ke aplikasi yang masih diragukan kebijakan privasi datanya adalah tindakan preventif pertama yang bisa dilakukan oleh masyarakat. Selain itu, Iradat menghimbau untuk tidak membagikan data pribadi secara publik di aplikasi-aplikasi yang banyak digunakan rutin, terutama media sosial, karena rentan untuk disalahgunakan.
Seiring dengan meningkatnya digitalisasi dan pergeseran ke ekonomi berbasis teknologi, salah satu isu yang cukup menarik adalah potensi Indonesia untuk mengembangkan inovasi yang bisa menyaingi atau bahkan mengatasi masalah yang ada pada platform pencarian informasi seperti DeepSeek. Iradat optimis potensi tersebut tentunya selalu ada, namun kembali lagi, literasi digital masyarakat secara umum harus diperkuat seraya mendidik talenta digital yang bisa memperkuat ekosistem digital di mana pemerintah berperan untuk memfasilitasi hal tersebut. Ekosistem digital ini menjadi penting untuk dibangun dengan baik agar bisa memunculkan inovasi yang solutif dan berkelanjutan. “Bukan hanya menjadi pengeruk dana investor kemudian mematikan inovasi itu sendiri. Jika ini terjadi, support investasi dari investor tidak akan muncul lagi karena takut dan kehilangan kepercayaan pada ekosistem digital di Indonesia,” pungkasnya.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Freepik