Kota Yogyakarta menjadi kota pertama di Indonesia yang mengimplementasikan teknologi nyamuk ber-Wolbachia dalam pengendalian demam berdarah dengue (DBD). Sejak program ini dimulai pada tahun 2016 lalu, angka kasus DBD di Kota Yogyakarta berangsur menurun, dan pada tahun 2023 mencatatkan rekor terendahnya di angka 67 kasus.
“Pada tahun 2016 jumlah kasus di Kota Yogyakarta masih sangat tinggi, mencapai lebih dari 1.700 kasus. Tahun 2023 sampai pada minggu lalu tercatat hanya di angka 67, terendah sepanjang sejarah di Kota Yogyakarta. Selain cara-cara yang sudah kita kenal seperti pemberantasan nyamuk dengan 3M dan jumantik, penurunan kasus ini tidak terlepas dari intervensi program nyamuk ber-Wolbachia yang dilakukan sejak tahun 2016 sampai saat ini,” terang dr. Lana Unwanah, Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta, Rabu (22/11).
Riset terkait teknologi nyamuk ber-Wolbachia di Indonesia dilakukan oleh World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta, yang merupakan kolaborasi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK) UGM, Monash University, dan Yayasan Tahija. Implementasi teknologi mutakhir ini di Kota Yogyakarta dilakukan melalui penitipan ember berisi telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia di habitat alaminya di lingkungan masyarakat, dengan dukungan dari Dinas Kesehatan dan berbagai pemangku kepentingan terkait.
Lana menerangkan, berkat penerapan program WMP pengendalian DBD di Kota Yogyakarta kini berjalan lebih efektif. Seiring dengan tren penurunan angka kasus dan tingkat rawat inap, kebutuhan akan intervensi fisik berupa pengasapan atau fogging menjadi berkurang. Penggunaan anggaran pemerintah daerah untuk penanganan DBD pun menjadi lebih efisien sehingga dapat dialokasikan untuk penanganan penyakit lainnya.
“Kami ucapkan terima kasih kepada Prof. Uut (Adi Utarini) beserta tim yang telah melakukan riset dan implementasi program nyamuk ber-Wolbachia dan menjadikan Kota Yogyakarta sebagai lokasi pilot project,” tuturnya.
Apresiasi terhadap program ini juga datang dari kalangan tokoh masyarakat. Tokoh masyarakat Kelurahan Cokrodiningratan, Totok Pratopo. Sebelum penerapan program WMP, kondisi penyebaran DBD di kampung tersebut bisa dibilang memprihatinkan. Kasus baru selalu muncul menjelang akhir tahun, bahkan hingga mengakibatkan kematian.
“Kampung di pinggir Kali Code sebenarnya memiliki potensi yang tinggi karena tingkat kebersihan lebih rendah dan banyak genangan. Bersyukur teknologi ini ditemukan. Hari ini kampung saya Jetisharjo nol kasus. Tidak ada yang sampai masuk rumah sakit dan meninggal, ini sungguh melegakan bagi kami masyarakat,” kata Totok.
Menurut Totok, teknologi ini memang sulit untuk dipahami masyarakat awam. Hal inilah yang mungkin membuat sejumlah orang sempat meragukan efektivitas program yang diterapkan. “Selama ini kita diajarkan untuk memberantas nyamuk, sekarang justru mau menyebarkan nyamuk,” kata ucapnya.
Menjelang Satu Dasawarsa
Menilik kembali perjalanan riset dan implementasi teknologi nyamuk ber-Wolbachia, berbagai tonggak penting telah dicatatkan dalam setiap tahapan yang telah dilalui. Setelah melalui serangkaian proses penelitian, pelepasan perdana telur nyamuk Aedes aegypti ber-Wolbachia dilakukan pertama kali pada tahun 2014 lalu di empat padukuhan kecil di Kabupaten Sleman dan Kabupaten Sleman. Dengan demikian, sudah hampir 10 tahun sebagian masyarakat Yogyakarta hidup dengan nyamuk ber-Wolbachia.
Peneliti Utama WMP Yogyakarta, Prof. Adi Utarini, menjelaskan bahwa implementasi teknologi tersebut di masyarakat didahului analisis risiko oleh tim ahli yang dibentuk Riset, Teknologi, Dan Pendidikan Tinggi untuk mengidentifikasi berbagai potensi dampak, dengan kesimpulan bahwa risiko dari penerapan teknologi ini sangat rendah atau dapat diabaikan. “Tidak serta merta diterapkan, ada proses penting yang dilakukan sebelumnya. Semua dilakukan dengan kehati-hatian dan dikawal dengan ethical clearance,” terangnya.
Program WMP di Yogyakarta sendiri telah berakhir pada tahun 2022 lalu, dengan hasil yang membuktikan bahwa teknologi ini efektif mengurangi 77% kasus Dengue dan 86% rawat inap karena Dengue. Berbekal data-data ini, WMP kemudian berhasil memperoleh rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) serta Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), dan selanjutnya akan diimplementasikan di kota-kota lain di Indonesia. Agar bisa diterapkan secara luas di berbagai daerah, tim WMP telah mengembangkan model implementasi program bekerja sama dengan Dinas Kesehatan daerah, termasuk melakukan rangkaian kegiatan pelatihan dan menyediakan buku panduan.
Proteksi Berkelanjutan
Pasca berakhirnya Program WMP, pemantauan terhadap jumlah kasus dan pengamatan nyamuk terus dilakukan oleh Pusat Kedokteran Tropis FK-KMK UGM. Direktur Pusat Kedokteran Tropis, dr. Riris Andono Ahmad, MPH Ph.D, yang juga merupakan salah satu peneliti WMP, menerangkan bahwa teknologi nyamuk ber-Wolbachia merupakan teknologi yang berkelanjutan, selain juga lebih ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan.
“Teknologi ini adalah teknologi yang berkelanjutan, karena sifatnya bisa diturunkan ke nyamuk berikutnya. Hanya perlu satu kali melepaskan, kemudian kita tinggal menikmati hasilnya. Populasi Wolbachia di Yogyakarta sampai saat ini masih sangat tinggi, sehingga memberikan proteksi yang berkelanjutan.
Penulis: Gloria
Fotografer: Donnie