Program Studi Doktor Antropologi di bawah Departemen Antropologi UGM mengadakan acara seminar terbuka hasil penelitian disertasi S3 Antropologi, Jumat (23/2), di Ruang 709 Gedung Soegondo, Kampus FIB UGM. Seminar kali ini sebagai presentasi terakhir bagi mahasiswa doktoral sebelum mempresentasikan hasil penuh dari disertasinya.
Seminar yang diadakan FIB UGM dihadiri oleh Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A. selaku dosen pembimbing, Prof. Dr. Bambang Hudayana, M.A., Dr. Elan Lazuardi, S.Ant., M.A., dan para mahasiswa. Sementara pembahas dari seminar disertasi ini adalah Dr. Pande Made Kutanegara, M.Si., Dr. Mohamad Yusuf, M.A., dan Dr. Sita Hidayah, S.Ant., M.A.
Seminar hasil penelitian disertasi ini disampaikan oleg Prima Dona Hapsari yang telah melakukan riset di Dukuh Penaban, Karangasem, Bali. Fokus kajian disertasi ini adalah mengkaji naskah lontar Bali dalam perspektif antropologi. Riset ini ditujukan untuk meneliti awal kemunculan, perkembangan, dan faktor-faktor serta pihak-pihak yang memengaruhi keberadaan naskah lontar Bali.
Menurut pemaparan, membaca naskah lontar sudah menjadi sebuah tradisi dari desa adat di Bali. “Hanya kini, beberapa kalangan mulai meninggalkan kebiasaan ini,” ujar Prima Dona Hapsari.
Menurutnya, ada beberapa naskah Lontar yang tidak diperbolehkan dibaca oleh orang umum. Namun, hal ini dijadikan pengecualian dalam prosesi Ngaben. Pada prosesi Ngaben, lontar masih dikidungkan dengan alasan agar semua orang dapat mendengarkan ritual ini, meskipun tidak semua tidak memahami. Hal ini karena naskah yang digunakan dikatakan sebagai penghayatan ritual bukan untuk dihafalkan.
Sekarang, muncul sebuah gerakan membaca kembali naskah lontar Bali yang muncul dari kelompok Triwangsa (Brahmana, Kesatria, Waisya) dan kelompok Jaba (kelompok intelektual di luar kelompok kasta di Bali). Secara perspektif kronologis, dalam perkembangannya pada tahun 2013, munculnya Aktivis Peduli Bahasa Bali memaksa memasukkan bahasa Bali ke dalam Kurikulum 2013. Langkah ini diambil guna membuat pelajar setidaknya dapat mengenal naskah Lontar. Dikatakan pula bahwa aktor-aktor penting yang mempengaruhi keberadaan naskah Lontar Bali ini adalah Bendesa Desa Adat Dukuh Penaban dan Penedun serta Pembaca Naskah Lontar Bali.
Setelah selesai dipaparkan, muncul beberapa tanggapan dari pembahas dan dosen pembimbing. Salah satunya muncul dari Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A, yang menitikberatkan isi dari penelitian disertasi ini. Beliau menyebutkan bahwa disertasi ini adalah contoh yang baik untuk antropologi di masa depan. “Tulisan ini sebenarnya selaras dengan pertanyaan pada debat capres terakhir kemarin tentang kebudayaan bahwa adanya kondisi hancurnya komunitas karena pariwisata desa,” lanjut beliau.
Dalam debat itu, kata Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A., dipertanyakan kebijakan apa yang akan calon presiden lakukan untuk membuat komunitas yang responsif? Menurut beliau, jawaban dari pertanyaan ini dapat ditemukan dalam disertasi ini. Masih menurut beliau, kondisi ini merupakan pembunuhan pada kebudayaan.
“Sebagai contoh pada peristiwa Ngaben, yang seharusnya dapat dideskripsikan lebih detail karena di dalamnya terdapat antistruktur yang mana keberadaan lontar yang saya rasa ditempatkan khusus dalam Ngaben ini memunculkan sebuah komunitas responsif,” tutup Prof. Dr. Paschalis Maria Laksono, M.A.
Penulis : Bonifacius Edo Wisnu Waskita/Humas FIB