Sebanyak lebih dari 1.500 para peneliti dan akademisi yang berasal dari 43 negara mengikuti konferensi konferensi international Association for Asian Studies (AAS)-in-Asia yang bertajuk Global Asias: Latent Histories, Manifest Impacts yang berlangsung pada 9-11 Juli mendatang di kampus UGM.
Rektor Universitas Gadjah Mada Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG (K), Ph.D., dalam pidato sambutan pada pembukaan konferensi AAS in Asia di Graha Sabha Pramana, Selasa (9/7), mengatakan bahwa UGM merasa menjadi institusi Indonesia pertama yang menjadi tuan rumah Konferensi AAS di Asia. “Kita mengapresiasi dipilihnya UGM sebagai tuan rumah konferensi dengan tema konferensi Global Asias: Latent Histories, Manifest Impacts merupakan pengingat yang kuat akan peran UGM di Indonesia, Asia, dan sekitarnya,” katanya.
Menurut Rektor, keberadaan UGM berlokasi di bagian strategis Asia sangat diuntungkan karena Asia adalah rumah bagi peradaban paling awal di dunia. Budaya asli mereka merupakan sumber dari banyak praktik yang telah menjadi bagian integral masyarakat selama berabad-abad, seperti pertanian, perencanaan kota, dan agama. Geografi sosial dan politik benua ini terus mempengaruhi seluruh dunia.
Di sisi lain, kata Rektor, kekayaan budaya Asia dan sumber daya alam yang melimpah telah menarik berbagai kepentingan dan menempatkan Asia di jantung konflik global, namun juga menjadi tempat di mana masyarakat belajar tentang pembangunan perdamaian dan ketahanan.
Sebagai salah satu kawasan berkembang paling dinamis di dunia, sejarah mencatat bahwa Asia telah menjadi tempat persaingan strategis yang ketat antar negara-negara besar. “Saat ini, persoalan kolonialisme mungkin sudah jauh tertinggal dari kita. Namun, abad kedua puluh satu telah membawa permasalahan kontemporer yang tidak pernah dibayangkan oleh nenek moyang kita. Eksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran demi pertumbuhan ekonomi telah membahayakan bumi” katanya.
Selain itu ,dampak perubahan iklim semakin nyata dalam bentuk suhu global dan kenaikan permukaan air laut, belum lagi erosi pantai, gelombang badai yang lebih tinggi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ketidakseimbangan alam tersebut memicu efek bola salju pada seluruh aspek kehidupan, kesehatan, pendidikan, kemiskinan, dan seluruh aspek lain yang dinyatakan sebagai tujuan pembangunan berkelanjutan.
Rektor juga sempat menyinggung soal meningkatnya keunggulan politik dan ekonomi di Asia juga disertai dengan risiko konflik dan beban lingkungan. Oleh karena itu, konferensi AAS di Asia memainkan peran penting dalam menghubungkan para sarjana dengan keprihatinan bersama. Meskipun semua akademisi tidak diragukan lagi adalah tokoh terkemuka di bidangnya, namun konferensi ini menyediakan platform untuk menyatukan berbagai disiplin ilmu dan sudut pandang untuk mencapai pendekatan komprehensif guna mencapai kemajuan umat manusia.
“Kami berharap suasana budaya Yogyakarta menginspirasi para peserta konferensi untuk memperkuat komitmen mereka untuk bergandengan tangan, memperkuat dampak kerja kami menuju kehidupan berkelanjutan,” ujarnya.
Kepada wartawan, President of the Association for Asian Studies (AAS), Hyaeweol Choi dari University of Iowa Amerika Serikat, menyampaikan alasan dipilihnya UGM sebagai tuan rumah karena Indonesia secara umum adalah lokasi yang sangat strategis untuk studi di Asia. Ditambah Yogyakarta adalah kota pendidikan menjadi tempat produksi dan distribusi ilmu pengetahuan baru. “Bagi saya sangat masuk akal untuk menyelenggarakan konferensi di sini, di pusat komunitas intelektual yang dinamis, jadi menurut saya ini adalah pilihan yang tepat,” katanya.
Sebagai Presiden AAS, Professor Choi menegaskan konferensi AAS in Asia merupakan sebuah wadah yang penting bagi para sarjana di Asia dan negara lain untuk bergabung bersama dalam berbagi pengetahuan terbaru dan mutakhir. Selain untuk memikirkan masa depan agar dunia yang harmonis dan hidup berdampingan secara lebih berkelanjutan seperti yang kita hadapi banyak krisis termasuk masalah lingkungan demokrasi serta kesenjangan sosial-ekonomi. “Jadi kita semua yang terpelajar di sini, kita semua membahas semua permasalahan kontemporer berdasarkan agenda sejarah dan kontemporer,” katanya.
Sebelum digelarnya konferensi ini, kata Choi, dirinya yang berada di komite program ikut menyeleksi proposal para panelis dan pembicara dan ia terkesan dengan hasil penelitian mutakhir. “Saya sangat terkesan dengan penelitian mutakhir yang berkualitas tinggi di bidang ini. Saya pikir dalam banyak hal, struktur akademis yang berpusat di Amerika Utara akan berubah karena Asia telah menjadi komunitas intelektual yang sedang berkembang namun juga sangat dinamis. Menurut saya, konferensi ini akan menjadi salah satu contoh mengapa kami mengadakan konferensi ini di Asia, agar konferensi ini lebih mudah diakses oleh para sarjana di Asia,” paparnya.
Sementra Wakil Rektor Bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Prof. Dr. Wening Udasmoro selaku ketua penyelenggara menuturkan bahwa selama 3 hari para peneliti dan akademisi yang terlibat dalam konferensi ini akan berbicara tentang isu keimigrasian, lingkungan hidup, mobilitas, dan perbatasan yang merupakan isu-isu terkini di bidang sosial humaniora. “Termasuk isu-isu soal disabilitas dan inklusivitas yang sebenarnya relevan dengan apa yang dilakukan UGM sekarang ini,” katanya.
Seperti diketahui, Sebanyak lebih dari 1.500 akademisi, mahasiswa, seniman, dan praktisi dari 43 negara akan mengikuti konferensi internasional ini. Peserta dari keempat puluh tiga negara tersebut diantaranya berasal dari Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Kanada, Jerman, Belanda, Inggris, Korea Selatan, dan Australia.
Penulis: Gusti Grehenson
Foto: Firsto