
Pajak Minimum Global atau global minimum tax (GMT) yang diusung oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) bertujuan untuk menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan, terutama dalam memastikan perusahaan multinasional membayar porsi kewajiban perpajakan yang adil. Namun dalam beberapa tahun terakhir, selain menjadi komoditas ekonomi dan politik internasional, kebijakan GMT dinilai melampaui batas kedaulatan perpajakan sebuah negara.
“Ada yang menilai GMT terlalu kompleks, ada pula yang menilai kebijakan tersebut melampaui batas-batas kedaulatan pajak sebuah negara,” ujar Prof. Adrianto Dwi Nugroho. S.I., Adv LLM, LL.D. dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Pajak Perusahaan pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kamis(12/6), di Balai Senat, Gedung Pusat UGM.
Dalam pidato pengukuhan yang mengangkat soal pajak minimum global dalam teori Keadilan John Rawls, Adrianto menilai penting untuk mengevaluasi esensi dari kebijakan GMT agar keadilan dalam sistem perpajakan dapat tercipta.
Adrianto menjelaskan bahwa Teori Keadilan dapat digunakan untuk mengevaluasi esensi dari kebijakan GMT. Penggunaan teori ini dapat melahirkan usulan kebijakan yang lebih koheren dan mudah dipahami secara lebih luas tak hanya bagi para pengusungnya. Dalam hal ini, Adrianto memilih teori oleh John Rawls untuk memberikan perspektif moral yang mengedepankan kebebasan. “Pada teori keadilan Rawls, pajak merupakan alat pada cabang urusan distribusi dari pemerintahan, setelah urusan alokasi, stabilisasi, dan peralihan,” jelas Adrianto.
Ketiga cabang ini akan mendekatkan pajak pada pemenuhan prinsip keadilan, yang akan tercapai apabila keseluruhan dari kelompok paling marginal telah seimbang dengan harapan jangka panjang mereka terhadap kesetaraan, kebebasan, dan juga pemerataan kesempatan.
Lebih lanjut, Adrianto mengungkapkan bahwa adil atau tidaknya suatu kebijakan perpajakan tidak ditentukan secara kuantitatif melainkan secara kualitatif. Tepatnya, prinsip keadilan ini tidak membahas tentang jumlah dan metode distribusi kesejahteraan, namun hanya menekankan pada adanya distribusi kebebasan dan primary good lainnya. Hal ini pun membuka peluang untuk menganalisis GMT pada arsitektur inti dari GloBE rules.
Dalam teori ini pun menjelaskan bahwa bentuk badan hukum tunduk pada prinsip keadilan Rawls yang berhak untuk mendapatkan perlakuan yang adil, baik secara horizontal maupun vertikal. Lebih lanjut, Adrianto pun menjelaskan mengenai fitur-fitur dalam GMT yang disandingkan dengan teori Rawls, dan menurutnya kebijakan ini telah sesuai dengan teori keadilan oleh Rawls. Sebagai contoh, pengenaan Top Up Tax terhadap perusahaan multinasional yang membayar PPh badan di bawah tarif minimum 15% bertujuan agar perusahaan-perusahaan yang beroperasi di suatu negara dan telah melewati ambang batas penghasilan tertentu akan menanggung beban pajak yang sama.
Selain itu, tambahan penerimaan negara dalam bentuk Top Up Tax memungkinkan negara melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dalam rangka memenuhi kebutuhan minimum bagi setiap orang yang berdomisili di wilayahnya.
Di akhir pidatonya, Adrianto menuturkan bahwa teori-teori keadilan dapat menjadi batu uji dalam menelaah berbagai kebijakan perpajakan internasional, khususnya yang menyasar laba usaha yang diperoleh dari badan. Narasi ketidakadilan yang seringkali disebabkan oleh hilangnya pendapatan negara akibat ketidakmampuan hukum pajak dalam mengenakan PPh atas laba multinasional seringkali diajukan oleh OECD sebagai alasan untuk mengubah tatanan perpajakan internasional. “Untuk mengimbangi narasi tersebut, berbagai kebijakan yang diformulasikan oleh OECD perlu ditelaah dengan menggunakan teori-teori keadilan, agar kebijakan perpajakan yang koheren dapat tercipta, dan kepatuhan perpajakan sukarela dari perusahaan-perusahaan multinasional dapat ditingkatkan,” ungkapnya.
Ia pun menjelaskan bahwa walaupun kebijakan GMT merupakan bentuk intervensi terhadap pengaturan pajak domestik, namun pengenaannya merupakan upaya kolektif untuk mengakhiri harmful tax competition.
Rektor UGM Prof. dr. Ova Emilia, M.Med.Ed., Sp.OG(K), menyebutkan bahwa Prof. Adrianto merupakan salah satu dari 532 Guru Besar Aktif yang dimiliki oleh UGM, dan di tingkat fakultas merupakan salah satu dari 15 Guru Besar Aktif dari 25 Guru Besar Aktif yang pernah dimiliki oleh Fakultas Hukum UGM.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto