
Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM Prof. Dr. Phil. Gabriel Lele, S.IP., M.Si resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar dalam bidang Tata Kelola Kebijakan Publik, Kamis (5/6), di Balai Senat UGM. Dalam pidato ilmiah berjudul ‘Democracy Beyond Election: Kebijakan Publik Agonistik sebagai Agenda Transformasi’, Gabriel menyampaikan bahwa demokrasi tidak boleh direduksi hanya pada prosedur elektoral. Demokrasi harus menjadi kerja harian yang terus hidup melalui kebijakan publik yang berpihak dan transformatif. “Demokrasi tidak boleh berhenti pada pemilu, tetapi mesti hidup dalam kebijakan publik sebagai ruang perjumpaan yang setara antar warga,” ujarnya.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan publik sering kali menjadi paradoks yang menyakitkan, alih-alih menyelesaikan masalah justru melahirkan konflik baru. Fenomena ini tampak dari beragam kebijakan kontroversial seperti pemindahan Ibu Kota Negara, program Makan Bergizi Gratis, pembentukan Koperasi Merah Putih, serta sejumlah kontroversi yang mengiringi proyek strategis nasional (PSN). Kebijakan semacam ini, menurut Gabriel, memperlihatkan kecenderungan mengabaikan pluralitas dan menutup ruang partisipasi publik yang bermakna. “Kebijakan publik tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang membungkam, tapi harus menjadi arena perbedaan yang setara,” terangnya.
Ia menyoroti bahwa dalam praktik kebijakan publik Indonesia, muncul tiga kecenderungan patologis, yakni populisme, otoritarianisme, dan penyeragaman kebijakan. Ketiganya berakar pada cara pandang yang menolak konflik dan keberagaman sebagai sesuatu yang wajar dalam demokrasi. Dalam sistem yang demikian, publik kerap diposisikan sebagai objek pasif, bukan sebagai subjek aktif yang memiliki hak untuk berbeda dan menyuarakan kepentingan. “Kebijakan publik sering disusun dalam ruang tertutup, padahal seharusnya kebijakan tersebut menjadi ruang terang tempat semua suara bisa didengar,” jelasnya.
Untuk mengubah keadaan ini, Gabriel menekankan pentingnya menggeser paradigma kebijakan publik dari cara berpikir teknokratis menuju pendekatan yang lebih reflektif dan demokratis. Ia menawarkan perspektif agonistik, sebuah pendekatan yang mengakui bahwa konflik bukan sesuatu yang harus dihindari, melainkan dikelola sebagai bagian dari dinamika masyarakat plural. Dalam kerangka ini, perbedaan pandangan tidak dianggap sebagai ancaman, tetapi sebagai sumber kekuatan demokrasi yang sehat dan hidup. “Universitas tidak hanya menjadi tempat belajar, tapi juga tempat menempa kesadaran akan kebebasan dan kesetaraan,” ungkapnya.
Konflik, dalam pandangan Gabriel, justru menjadi elemen vital dari demokrasi apabila dikelola dalam semangat yang saling menghormati. Ia menolak model konsensus semu yang meminggirkan suara minoritas dan menggantinya dengan konsep respectful conflict atau konflik yang memungkinkan setiap pihak menyuarakan posisinya secara terbuka dan setara. Pendekatan ini, katanya, dapat memperkuat legitimasi kebijakan sekaligus memperdalam praktik demokrasi. “Kita membutuhkan lebih banyak respectful conflict daripada konsensus semu,” tegasnya.
Prof. Gabriel mengingatkan bahwa agar transformasi kebijakan publik menuju model yang demokratis dapat terwujud, perubahan tidak hanya dibutuhkan pada tingkat institusional, tetapi juga pada tingkat epistemik. Perubahan tersebut meliputi cara kita memahami, mengajarkan, dan mempraktikkan kebijakan publik, termasuk dalam mendefinisikan siapa itu ‘publik’. Ia menekankan bahwa saat ini terjadi penggeseran makna dari kebijakan publik menjadi kebijakan pemerintah, yang pada dasarnya menandai keterputusan antara rakyat dan pengambilan keputusan. “Demokrasi tidak akan pernah utuh jika publik terus dimarjinalkan dalam proses-proses kebijakan,” ujarnya.
Karena itu, universitas menurutnya memiliki tanggung jawab penting dalam merawat dan mengembangkan ekosistem akademik yang kritis dan demokratis. Kampus harus menjadi ruang yang merayakan keberagaman pemikiran dan menyediakan wahana bagi tumbuhnya civic education yang bermutu. Dengan begitu, universitas tidak hanya menghasilkan lulusan yang cakap secara teknis, tapi juga memiliki keberpihakan etis pada kebebasan dan kesetaraan. “Universitas harus menjadi arena multiversitas yang memupuk pluralitas tanpa kehilangan komitmen pada persatuan,” katanya.
Dengan mengusung pendekatan agonistik, Gabriel berharap kebijakan publik dapat kembali menjadi alat transformasi sosial yang sejati. Kebijakan yang demikian akan menjadikan publik sebagai aktor utama dalam proses politik, bukan sekadar objek dari keputusan sepihak. Dalam pandangan ini, konflik menjadi media belajar bersama yang memungkinkan lahirnya solusi-solusi yang adil dan kontekstual. “Transformasi kebijakan publik sejati akan terwujud ketika kebijakan menjadi arena dan alat eksperimen demokrasi,” tuturnya.
Gabriel mengajak seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah, akademisi, maupun masyarakat sipil untuk tidak takut terhadap perbedaan dan konflik. Ia menegaskan bahwa justru dalam pengelolaan konflik yang sehat itulah demokrasi menemukan denyut hidupnya. Untuk itu, diperlukan keberanian politik, kecerdasan epistemik, dan keberpihakan moral yang teguh terhadap nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan. “Demokrasi yang vibran hanya mungkin lahir dari publik yang berani berbeda dan negara yang bersedia mendengarkan,” pungkasnya.
Ketua Majelis Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A., menyampaikan bahwa dengan pengukuhan ini, Prof. Gabriel Lele menjadi bagian dari 531 Guru Besar aktif Universitas Gadjah Mada, sekaligus memperkuat barisan 39 Guru Besar aktif yang dimiliki oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM. Capaian gabriel ini tidak hanya memperkuat posisi UGM sebagai pusat keunggulan akademik di bidang tata kelola kebijakan publik, tetapi juga menjadi bagian dari warisan keilmuan yang terus tumbuh, menyemai pemikiran dan pengabdian bagi kemajuan bangsa.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : Donnie