
Serangga memiliki peran penting dalam kehidupan manusia, khususnya dalam bidang pertanian. Mereka berperan sebagai herbivora (pemakan tumbuhan), karnivora, pollinator, pemakan sisa bahan organik (pengurai) dan sebagai makanan bagi makhluk hidup lain. Bahkan, sekitar 72% jenis tanaman membutuhkan serangga dalam proses penyerbukannya. Maka tidaklah berlebihan apabila dikatakan, jika tidak ada serangga di dunia ini maka tidak akan ada kehidupan di bumi.
Serangga juga memiliki dampak negatif yang signifikan, ketia populasi mereka yang terlalu banyak menjadi hama. Oleh karena itu diperlukan suatu proses pengelolaan serangga hama yang tepat tanpa merusak lingkungan, hal tersebut lah yang disampaikan oleh Prof. Dr. Ir. Witjaksono, M.Sc pada pidato pengukuhan nya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Entomologi Pertanian pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, yang berjudul “Pentingnya Pengelolaan Serangga Hama yang Ramah Lingkungan Berbasis Teknologi Semiokimia”. Pengukuhan tersebut dilaksanakan pada Kamis (21/8) di Balai Senat Gedung Pusat UGM.
Meskipun seringkali dianggap sebagai hama, serangga juga memiliki dampak positif bagi ekosistem, terutama untuk tanaman. Serangga, seperti lebah, kupu-kupu, dan kumbang, adalah polinator utama yang membantu proses penyerbukan sebagai langkah penting dalam reproduksi tanaman. Tanpa serangga ini, banyak tanaman buah, sayur, dan bunga tidak akan bisa menghasilkan biji atau buah.
Untuk mengatasi hama, selama ini insektisida dijadikan pilihan utama karena dianggap cepat, efektif dan relatif mudah penggunaannya. Data menunjukkan bahwa penggunaan pestisida di dunia mencapai 3,5 juta ton per tahun. Meskipun dapat membantu peningkatan produksi pertanian, akan tetapi penggunaan insektisida kimia secara terus menerus menyebabkan dampak serius berua perbesaran hayati.
Ia menjelaskan bahwa melalui teknologi semiokimia, populasi hama diturunkan tidak dengan cara dibunuh, akan tetapi dikelola sebelum muncul generasi baru atau sebelum populasi berkembang. “Pengelolaan populasi dengan cara ini merupakan cara yang paling minim menimbulkan efek samping,” katanya.
Pengurangan populasi serangga hama sebelum populasinya bertambah mengurangi terjadinya goncangan ekosistem yang terjadi apabila pengurangan populasi serangga hama dilakukan sebagai langkah kuratif. “Kita harus senantiasa ingat bahwa serangga hama memiliki fungsi di dalam ekosistem yang seringkali belum kita ketahui secara lengkap. Oleh karena itu, pengelolaan populasi serangga hama harus dilakukan secara cermat dan dapat dipertanggungjawabkan kepada generasi anak cucu kita,” pungkasnya.
Ketua Dewan Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Muhammad Baiquni, M.A, menyampaikan bahwa Prof. Witjaksono merupakan satu dari 543 Guru Besar yang dimiliki oleh UGM, dan di tingkat fakultas merupakan salah satu dari 30 Guru Besar Aktif dari 62 Guru Besar pernah yang dimiliki oleh Fakultas Pertanian UGM.
Penulis : Kezia dan Leony
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie