Dekan Sekolah Vokasi UGM, Prof. Dr.-Ing. Ir. Agus Maryono, IPM, ASEAN Eng., dikukuhkan sebagai Guru Besar UGM. Dalam pengukuhan jabatan Guru Besar dalam bidang Sumberdaya Air dan Lingkungan pada Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada, ia menyampaikan pidato berjudul Pengembangan IPTEK Memanen Air Hujan: dari Keprihatinan, Penelitian dan Pengembangan Teknologi menuju Gerakan Masyarakat dan Teaching Factory.
Bidang sumber daya air dan lingkungan memang merupakan salah satu intisari yang ia minati, pelajari, teliti, praktikkan, kembangkan, dan sebar-luaskan selama ini. Paradigma pengelolaan sumber daya air dan lingkungan saat ini, menurutnya masih bersifat pragmatis dan cenderung eksploitatif.
Pembangunan sungai masih menggunakan pendekatan “engineering murni” yang dinilainya justru merusak ekosistem sungai. Beberapa contoh antara lain pelurusan sungai, sudetan, pembentonan tebing sungai, serta pembangunan cek dam, ground sill, sabo dam yang masif.
“Pembangunan danau dan embung masih menggunakan cara konstruksi murni seperti pembuatan tanggul dan pembetonan tebing melingkar danau yang justru merusak ekosistem danau,” ujarnya di Balai Senat UGM, Selasa (30/1).
Berbagai permasalahan juga ditemui dalam pengelolaan air hujan dimana pembangunan drainase air hujan di pedesaan, pemukiman, perkotaan, dan kawasan masih dilakukan dengan konsep membuang air hujan secepat-cepatnya ke sungai yang tentunya dapat menyebabkan banjir di hilir dan kekeringan di hulu. Oleh karena itu, reformasi pengelolaan sumber daya air yang ramah lingkungan dan berkelanjutan menjadi sangat mendesak dilakukan.
“Luasnya permasalahan sumber daya air dan lingkungan maka dalam pidato pengukuhan ini saya mengambil salah satu tema yang cukup urgen dan aktual pada puncak musim hujan dan perubahan iklim saat ini, yaitu pengelolaan air hujan. Lebih spesifik lagi saya akan membahas tentang Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Memanen Air Hujan,” paparnya.
Topik utama tentang pengelolaan air hujan ini ia pilih karena dapat memberikan refleksi komprehensif tentang bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi yang seharusnya dikembangkan dan dimasyarakatkan untuk menyelesaikan permasalahan nyata yang dihadapi oleh masyarakat. Karena itu dalam pidatonya, ia pun menceritakan proses pengembangan IPTEK memanen air hujan serta implementasinya untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi masyarakat luas.
“Tema ini juga dipilih sebagai dukungan terhadap upaya reformasi pengelolaan sumber daya air hujan dan sekaligus mendukung upaya mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) 2030,” urainya.
Berbicara mengenai pengembangan teknologi pemanen air hujan dan melihat kuantitas air hujan yang sangat besar dengan kualitas yang memenuhi standar air bersih dan kebutuhan air masyarakat yang terus meningkat, dirinya dan tim telah lama menyusun langkah pengembangan teknologi memanen air hujan di laboratorium Bangunan Air dan Lingkungan Departemen Teknik Sipil, SV UGM. Langkah tahap pertama dimulai pada tahun 2010-2015 dengan berfokus pada pembuatan teknologi memanen air hujan. Tahap kedua pada tahun 2016-2020 berfokus pada pengembangan teknologi dan pendaftaran kekayaan intelektual, dan tahap ketiga tahun 2021-2025 dengan fokus pengembangan teknologi dan membangun Teaching Factory (TeFa).
Agus Maryono mengakui teknologi memanen air hujan sudah berkembang secara tradisional dan modern di banyak negara seperti di Bangladesh, Australia, dan Jerman serta teknologi tradisional memanen hujan yang dipakai di berbagai wilayah di Indonesia. Teknologi tradisional tersebut umumnya masih menampung hujan secara langsung tanpa penyaring dan belum terkait dengan injeksi air tanah.
“Saya mengompilasi dan mengembangkan sebanyak 12 metode memanen air hujan lengkap dengan contoh masalah dan hitungan dimensinya. Antara lain dengan bak tampung air hujan, sumur resapan, parit resapan, areal resapan, tanggul pekarangan, pagar pekarangan, lubang galian, modifikasi lanskap, area konservasi air tanah, kolam tampungan, revitalisasi telaga, dan tanaman dan hutan sebagai pemanen air hujan,” katanya.
Dari 12 teknologi tersebut, ia pun kemudian memutuskan mengembangkan teknologi penyaring dan penampung air hujan Gama Rain Filter. Alat ini menyempurnakan teknologi tradisional bak tampung air hujan dari atap rumah dengan tambahan filter penyaring daun, debu kasar, dan debu halus.
Alat ini memiliki penampungan yang portable, dapat mengalirkan kelebihan airnya secara otomatis ke sumur atau sumur resapan, dan mendistribusikan air hujan untuk kebutuhan air bersih. Dengan teknologi ini hampir 100 persen air hujan dari atap rumah bisa dimanfaatkan.
“Gama Rain Filter ini adalah teknologi tepat guna yang telah mendapatkan penghargaan Layak Paten terbaik UGM 2016 dan Paten UGM terbaik 2020, bahan penyusunnya tersedia 100 persen di pasaran dan dapat dibuat oleh 10 masyarakat dengan pelatihan secukupnya. Kedua penghargaan ini dapat diraih karena teknologi ini dapat diterima oleh masyarakat dengan persebaran yang begitu cepat,” terangnya.
Guna lebih meyakinkan apakah masyarakat dapat menerima teknologi ini, ia pun bersama tim melakukan penelitian tingkat penerimaan pengguna (user acceptance) dengan 58 responden dari para pengguna alat Gama Rain Filter yang sudah memakai alat tersebut selama 1 (satu) tahun di D.I. Yogyakarta. Hasilnya memperlihatkan sebanyak 76,3 persen pengguna paham terkait kegunaan alat setelah pemasangan, 81,3 persen menilai bahwa kualitas air hujan yang tertampung cukup bagus, 91,5 persen menyatakan bahwa mereka saat ini puas menggunakan air hujan, dan 94,9 persen menyatakan bahwa alat ini sangat bermanfaat.
“Hasil ini tentu menunjukan tingkat penerimaan masyarakat sangat tinggi dan memberikan motivasi kepada saya dan tim untuk terus mengembangkan dan mengkampanyekan memanen air hujan dengan lebih luas lagi,” ungkapnya.
Dengan pidato ilmiah yang mengangkat judul Pengembangan IPTEK Memanen Air Hujan: dari Keprihatinan, Penelitian, dan Pengembangan Teknologi menuju Gerakan Masyarakat dan Teaching Factory, ini ia berharap dapat memberikan kontribusi secara ontologis dan epistemologis dalam mendorong terjadinya dampak aksiologis yang nyata dalam tataran praktis menuju pengelolaan sumber daya air hujan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dengan upaya dan pengembangan IPTEK memanen air hujan yang telah diuraikan di depan ia sangat berharap dapat membuka kesadaran masyarakat dan pemerintah, bahwa air hujan sangat layak untuk dikelola, dipanen dan dimanfaatkan sebagai sumber air bersih yang akan menyelamatkan bangsa di Indonesia dari ancaman krisis air ke depan.
Penulis : Agung Nugroho
Fotografer: Firsto