
Pemerintah melalui Dewan Ekonomi Nasional berencana akan merevisi garis kemiskinan nasional. Pasalnya indikator garis kemiskinan saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Sebelumnya, Bank Dunia atau World Bank telah menaikkan garis kemiskinan dunia dengan mempertimbangkan adopsi ukuran paritas daya beli terbaru yang menyebabkan sebesar 68,3% atau 194,72 juta jiwa penduduk Indonesia masuk dalam garis kemiskinan.
Menanggapi hal ini, Dosen Program Studi Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fisipol UGM Nurhadi, S.Sos., M.Si., Ph.D., menyampaikan dukungannya atas usulan pemerintah tersebut. Namun ia menekankan perlunya strategi yang cermat untuk mengantisipasi implikasi politik dan kebijakan dari perubahan standar garis kemiskinan nasional. “Kalau kita lihat, memang garis kemiskinan yang digunakan saat ini sudah kurang relevan,” kata Nurhadi, Rabu (25/6) di Kampus UGM.
Nurhadi menyebutkan beberapa alasan utama, yakni pertama, tidak lagi mencerminkan harga-harga aktual di masyarakat. Kedua, karena diperlukan penyesuaian agar data Indonesia kompatibel dengan standar global. Dan ketiga, karena pendekatan pengukuran kemiskinan yang digunakan selama ini sudah saatnya diperbarui.
Ia kemudian menekankan pentingnya menggunakan Multidimensional Poverty Index (MPI) atau Indeks Kemiskinan Multidimensi yang mengukur kemiskinan bukan hanya berdasarkan pendapatan, tetapi juga berdasarkan akses terhadap layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, sanitasi, dan perumahan. Metode ini menurutnya, memberikan gambaran lebih utuh. “Misalnya, ada rumah tangga yang secara ekonomi cukup, tapi akses ke layanan pendidikan dan kesehatan sangat terbatas, mereka seharusnya juga termasuk dalam kategori miskin,” katanya.
Namun demikian, ia juga menggarisbawahi bahwa usulan revisi ini juga memunculkan sejumlah kekhawatiran yang memiliki landasan yang kuat. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi lonjakan angka kemiskinan secara statistik. Berdasarkan standar Bank Dunia, jika Indonesia menggunakan kategori lower middle-income country, maka tingkat kemiskinan bisa melonjak hingga sekitar 20 persen. Jika menggunakan upper middle-income country, jumlahnya bahkan bisa mencapai sekitar 60 persen. “Ini bisa menimbulkan persepsi negatif bahwa pemerintah gagal mengurangi kemiskinan. Padahal yang terjadi adalah perubahan standar pengukuran,” katanya.
Ia menekankan bahwa dukungan terhadap revisi garis kemiskinan harus bersyarat dan dibarengi dengan strategi yang matang. Setidaknya ada empat strategi utama yang diusulkan. Pertama, penggunaan standar yang moderat. Ia menyarankan agar perhitungan garis kemiskinan ini menggunakan standar lower middle-income country agar angka kemiskinan meningkat secara wajar dan tidak drastis. Kedua, transisi data yang transparan dengan menampilkan data kemiskinan dalam dua versi (garis lama dan garis baru) secara bersamaan agar publik dapat memahami konteks perubahan tersebut.
Strategi ketiga, Nurhadi menyampaikan, perlu adanya upaya pemerintah melakukan edukasi dan komunikasi publik yang aktif. Edukasi ini dapat dilakukan dengan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kenaikan angka kemiskinan bukan karena memburuknya kondisi perekonomian, melainkan karena adanya perubahan metode pengukuran, yaitu garis ukur dinaikkan untuk mencerminkan realitas yang lebih akurat. Terakhir, penyesuaian bentuk intervensi kebijakan yakni dengan memisahkan intervensi antara kelompok miskin lama dengan kelompok miskin baru. “Kelompok miskin baru ini sebaiknya lebih ditekankan untuk mendapatkan program pemberdayaan, bukan sekadar bantuan konsumtif,” jelasnya.
Namun yang tidak kalah penting, Nurhadi menambahkan bahwa pemberdayaan sosial harus menjadi pendekatan utama dalam pengentasan kemiskinan. “Kita harus membantu masyarakat untuk bisa membantu dirinya sendiri – helping people to help themselves. Bukan hanya memberikan bantuan, tapi memberikan kapasitas, akses, dan kesempatan agar mereka bisa mandiri,” imbuh Nurhadi.
Dalam konteks ini, ia juga menyoroti pentingnya lembaga seperti Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) yang saat ini telah memiliki Rencana Induk Pengentasan Kemiskinan Nasional. Ia menilai bahwa integrasi antara pendekatan teknokratis dan politis sangat penting untuk memastikan reformulasi garis kemiskinan berjalan dengan aman dan berdampak nyata. “Revisi garis kemiskinan adalah langkah maju, tapi kita perlu bijak dan cermat dalam menanganinya. Tujuan akhirnya tetap untuk menjamin keadilan sosial dan kesejahteraan yang lebih merata,” pungkasnya.
Penulis : Lintang Andwyna
Editor : Gusti Grehenson
Foto : kompas.com