Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan Diskusi Komunikasi Mahasiswa (DISKOMA). Memasuki edisi ke-13, DISKOMA digelar dengan mengangkat topik “Menjadi Seorang Intelektual: Integritas dan Tanggung Jawab Keilmuan”.
Topik diangkat sebagai respon atas isu yang belakangan marak dibicarakan terkait iklim akademis dan ekosistem publikasi di Indonesia. Bertindak selaku narasumber antara lain Mariessa Giswandhani (Dosen dan Education Content Creators), Ahmad Effendi (Reporter Mojok.co), serta Albertus Fani Prasetyawan (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi).
Pada dasarnya, riset atau penelitian telah menjadi hal fundamental dalam kehidupan manusia. Albertus Fani Prasetyawan yang akrab disapa sebagai Al mencoba memaparkan fakta ini lewat pemikiran Plato atas bagian jiwa manusia yang terdiri dari Epithumia yakni hasrat keinginan dan maksud.
“Thumos yang berarti semangat keberanian dan juga daya juang, serta Logisticon mendorong pada pencarian kebenaran dan pengetahuan. Refleksi dari ketiganya tertuang dalam sebuah proses penelitian atau riset,” ujarnya, Jum’at (17/5).
Albertus Fani yang telah berpengalaman membawa risetnya hingga taraf konferensi internasional yang cukup bergengsi menyebut dalam tahapan publikasi ilmiah tak lepas dari proses pencarian dan pemeriksaan kredibilitas latarbelakang jurnal yang dituju. Namun, salah satu problematika terkait publikasi di Indonesia umumnya disebabkan oleh kebijakan menteri terkait riset dan publikasi yang menjadikan karya ilmiah sebagai suatu komoditas bagi institusi dan akademisi.
Dalam kesempatan ini, Ahmad Effendi sebagai penulis sekaligus jurnalis berkomentar terkait pertanyaan siapa yang salah dan rugi dengan adanya kecurangan publikasi riset akademis. Ia memaparkan data retraksi jurnal dari penulis Indonesia yang semakin meningkat selama 5 tahun terakhir.
Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa maraknya praktik-praktik seperti jurnal predator, joki jurnal, serta plagiator telah menjadi tradisi yang sistemis. Setidaknya, sebutnya dana sebanyak 10 miliar rupiah telah dihabiskan untuk membiayai publikasi yang bermasalah selama pandemi.
Ia pun mengungkap publikasi jurnal bermasalah pada akhirnya hanya menciptakan pseudo-data bagi para pengambil kebijakan. Lebih jauh, menurutnya dampak terburuknya dirasakan oleh masyarakat akar rumput.
Mariessa Giswandhani dari perspektif akademisi menjelaskan hubungan antara regulasi dan realisasi publikasi ilmiah. Ia mengakui bahwa pelanggaran-pelanggaran akademis di Indonesia memang telah lama dan semakin menjamur.
Pelanggaran ini semakin diperburuk sejak adanya tuntutan publikasi di kalangan mahasiswa S2 yang menjadi salah satu faktor berpengaruh atas praktik-praktik tersebut. Jenis-jenis pelanggaran Karya Ilmiah dapat ditemukan dalam bentuk fabrikasi, falsifikasi, plagiasi, missatribusi, kepentingan, serta submisi ganda.
Sebagai dosen, Mariessa menyayangkan luputnya pemerintah atas tekanan, edukasi terkait etika, serta minimnya pengawasan publikasi ilmiah di Indonesia.
Diskusi virtual inipun ditutup dengan pertukaran ide dan perspektif dan beragam peserta dari berbagai latar belakang. Peran perkembangan teknologi seperti artificial intelligent (AI) dan algoritma juga turut disinggung terkait fenomena yang terjadi dalam lingkungan publikasi di Indonesia.
Dr. Rahayu, M.Si. selaku kepala Prodi Magister Ilmu Komunikasi mengungkapkan dengan adanya pertukaran pandangan dan diskusi kali ini diharap dapat memberi jawaban atas bagaimana mestinya integritas keilmuan bisa dilihat.
Penulis: Agung Nugroho