Program Studi Magister Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) Universitas Gadjah Mada kembali menyelenggarakan Diskusi Komunikasi Mahasiswa atau Diskoma Edisi ke 14 dengan mengangkat topik “Resonansi Akademisi dan Praktisi: Ancaman RUU Penyiaran Terhadap Penyiaran Lokal dan Content Creator”. Topik ini diangkat sebagai respons atas isu yang belakangan marak dibicarakan terkait RUU Penyiaran dan ancaman bagi pelaku media di daerah. Berbeda dengan format sebelumnya, DISKOMA edisi 14 diselenggarakan luring pada Jumat (14/06) lalu dengan menghadirkan empat narasumber, yaitu Rahayu (Dosen Ilmu Komunikasi UGM & Wakil Ketua PR2Media), Haswan Iskandar Jaya (Komisi Penyiaran dan Ketua KPID DI Yogyakarta), Wahyu Sudarmawan (Direktur Utama RBTV), serta Umar Wicaksono (Head of Creative PARES.id).
Seperti yang diketahui, Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran telah lama menjadi topik hangat di berbagai kalangan, namun eksekusi revisi masih belum terwujud. Faktor utama yang mempengaruhi lambatnya proses ini adalah adanya kepentingan politik yang melibatkan berbagai pihak. “Kami telah berharap sejak tahun 2002 agar peraturan penyiaran daerah, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), disesuaikan kembali. Revisi RUU penyiaran pada prinsipnya untuk kemaslahatan anak bangsa dalam mengunyah informasi bergizi dan sehat,” ujar Haswan Iskandar, perwakilan dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY. Haswan berpandangan seharusnya revisi tidak ditolak keseluruhan atas konsepsinya, tetapi jika dianggap terdapat pasal-pasal yang rentan, maka pasal tersebut yang menjadi fokus kritiknya.
Sejalan dengan Haswan, pendapat lain dikemukakan oleh Rahayu. Ia berpendapat apapun bentuk regulasi penyiaran yang dikeluarkan oleh pemerintah, harusnya merefleksikan seluruh kepentingan masyarakat Indonesia. Regulasi penyiaran harus mensejahterakan masyarakat Indonesia, menciptakan kesejahteraan politik, freedom expression, aksesibilitas yang mudah dan menyeluruh, mendorong kebudayaan dan pendidikan berkembang. “Jika RUU tidak dapat menanggulangi permasalahan media structure, media performance dan media conduct, maka buat apa?” ungkap Rahayu.
Rahayu juga mengurai akar permasalahan RUU penyiaran sehingga berimplikasi pada penyelenggara penyiaran lokal dan content creator. Kekecewaannya dalam melihat RUU penyiaran bermuara pada tidak adanya aturan yang jelas pada lima elemen yakni: Batasan konsentrasi atau monopoli kepemilikan, kepemilikan silang media, pemindahtanganan izin, holding company, dan juga penyebutan aturan perundang-undangan yang tidak spesifik. Ketidakjelasan pengaturan elemen-elemen ini tidak akan mengubah kondisi penyiaran Indonesia menjadi lebih baik.
Digitalisasi telah mengubah pola perilaku penonton yang dulunya memiliki keterikatan emosional dan kebanggaan terhadap konten lokal, kini cenderung tergerus oleh budaya konsumsi cepat dan instan. RBTV telah lama dikenal sebagai media yang memfasilitasi eksistensi masyarakat Jogja di layar kaca. “Keunggulan RBTV terletak pada konten budayanya yang kental dan autentik, sehingga mampu bertahan hingga sekarang. Namun, dengan kehadiran media digital, yang mengalami serangan bukan hanya kontennya, melainkan juga budaya menonton masyarakat,” ujar Wahyu Sudarman. Ia mengungkapkan hakikat Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran seharusnya mampu mengatasi tantangan jurnalisme dalam ruang digital tanpa mengancam kebebasan berekspresi. Revisi tersebut diharapkan akan menciptakan keadilan bagi industri penyiaran pada era kemunculan media digital baru.
Umar Wicaksono sebagai representasi content creator memaparkan “Penyiaran di TV dan media digital memiliki karakteristik yang berbeda dan tidak bisa disamakan, penting untuk dibedakan dan dijelaskan secara tegas agar tidak membingungkan,” paparnya. Umar meyakini aturan untuk media digital tidak relevan jika disamakan dengan aturan untuk TV. Karakteristik TV dan media digital yang berbeda memerlukan perlakuan khusus masing-masing. Pengaturan terhadap konten juga perlu untuk diperhatikan karena berkaitan dengan hak kepemilikan.
“Harus ada keseimbangan antara regulasi yang diperlukan untuk menjaga kualitas konten dengan kebebasan berkreasi dan berekspresi di platform digital,” tutup Umar.
Mengakhiri diskusi, Rahayu selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi mengharapkan, pertukaran pandangan dan diskusi kali ini dapat memberi jawaban atas bagaimana mestinya RUU Penyiaran bisa dibuat dan diperbaiki. Hal ini dikarenakan media penyiaran bukan hanya institusi bisnis, namun juga institusi sosial yang menjadi pilar demokrasi melalui fungsi komunikasi.
Reportase: Humas FISIPOL UGM
Editor: Triya Andriyani