Kecenderungan menguatnya dominasi militer mewarnai dinamika politik akhir-akhir ini. Terlebih dengan adanya rencana revisi UU 34/2004 tentang TNI, dan isu dwifungsi ABRI kembali mencuat seiring menguatnya keinginan sebagian kelompok militer mengambil peran lebih besar di sektor sipil. Demikian pokok-pokok bahasan yang mengemuka dalam Diskusi Publik dan Peluncuran Edisi Khusus Jurnal PRISMA bertajuk Hubungan Sipil Militer Dalam Negara Demokrasi: Dinamika Reformasi TNI yang diselenggarakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil bersama dengan Centra Initiative, Imparsial, Raksha Initiatives, PRISMA, dan Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia (PANDHEKA) Fakultas Hukum UGM pada hari Jum’at (14/11).
Usman Hamid, selaku Direktur Amnesty International Indonesia turut menyoroti pokok pikiran yang ada dalam tulisan di Jurnal PRISMA tersebut. Sebagai pembicara diskusi, iapun mempersoalkan terkait kegagalan keadilan transisi dan arus balik militer di Indonesia, dan, menurutnya, dalam hubungan sipil militer terdapat empat aspek yang dipersoalkan diantaranya soal kendali sipil, netralitas politik, profesionalisme militer, serta akuntabilitas. “Secara perlahan, militer kembali memperoleh kepercayaan publik, bahkan melampaui lembaga penegak hukum. Ironisnya, kondisi tersebut justru sering dijadikan pembenaran untuk memperluas peran militer di luar fungsi utamanya,” katanya.
Usman menjelaskan keempat aspek tersebut memiliki sebab dan sejarah yang bisa dijadikan landasan militer untuk ikut campur di urusan politik. Dalam pandangannya budaya feodalisme, ketidakcukupan pendanaan militer, serta kontestasi keamanan dengan kepolisian turut mempengaruhi keterlibatan militer dalam politik. Belum lagi soal upaya pemerintah “menulis ulang sejarah” yang tentunya akan mengaburkan pelanggaran HAM masa lalu seperti peristiwa Tanjung Priok dan operasi militer di Papua. “Sebagai generasi muda, ini yang harus kita persoalkan. Jangan sampai anak-anak tumbuh berkembang dengan materi sejarah yang digelapkan dan menyangkal keadilan,” ucapnya. 
Dalam perspektif gender, Arifah Rahmawati selaku peneliti Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP UGM) menyoroti soal penggunaan kekerasan oleh aparat militer. Dari data empirik di berbagai wilayah mengungkap adanya kasus eksploitasi seksual oleh anggota militer yang meninggalkan luka generasional tanpa penyelesaian melalui mekanisme keadilan transisi. Bahkan kegagalan program hubungan sipil-militer sejak 1978 memperlihatkan peran militer seringkali bergerak di luar ranah yang seharusnya, dan itu dipengaruhi oleh konstruksi identitas maskulin yang dibangun secara budaya dan institusional.
Sementara itu dosen Fakultas Hukum UGM, Virga Dwi Efendi menilai kondisi pengawasan yang lemah dan tidak berfungsinya mekanisme checks and balances membuat militer kerap melampaui syarat serta batasan yang seharusnya menjadi domain sipil. Pengaturan terkait rangkap jabatan pun dinilai semakin krusial dalam masa transisi menuju demokrasi yang ideal. Karena itu, ia mengingatkan keterlibatan TNI dalam program-program unggulan presiden sepertinya menjadi Satgas MBG memperlihatkan pergeseran fokus militer dari tugas pokok pertahanan negara ke ranah-ranah nonmiliter. “Konflik kewenangan ini akan berpotensi muncul karena TNI punya skema internal cenderung diselesaikan kompromi sehingga keputusan militer diputus bebas jika dibanding dengan peradilan umum. Situasi ini dapat menjadi awal dari aparat bertindak sewenang-wenang,” jelas Virga.
Made Tony Supriatna, Visiting Fellow di ISEAS-Yusof Ishak Institute turut menyoroti fenomena remiliterisasi dan meningkatnya sekuritisasi kebijakan negara yang dinilainya telah mengubah peran militer secara signifikan. Iapun berpendapat konsep subjective civilian control, yang mana militer profesional dan otoritas sipil menjadi penentu kebijakan kini tengah mengalami pergeseran. Salah satu indikator terbaca adalah adanya rencana pembentukan sekitar 750 batalyon baru serta ekspansi besar-besaran struktur militer. “Perubahan tersebut berpotensi menjadikan militer sebagai blok politik baru yang memiliki pengaruh kuat di berbagai sektor negara. Militer kini hadir dalam hampir semua aspek, dan ini mendorong terbentuknya blok kekuasaan yang mengakar, menjadi warisan politik baru,” katanya. 
Pandangan senada disampaikan Dr. Al Araf, Ketua Badan Pengurus CENTRA Initiative. Menurutnya, kegagalan menata hubungan sipil-militer baik di Indonesia maupun di berbagai negara, sering kali menyeret sebuah demokrasi menuju negara penjagaan dan otoritarianisme terselubung. Baginya pengalaman Orde Baru menunjukkan bagaimana otoritas sipil dapat menggunakan militer untuk menopang kekuasaan, yang berujung pada penculikan aktivis, kekerasan, dan pelanggaran HAM. “Tugas kita adalah untuk mencegah gejala kembalinya dominasi dalam ruang sipil dan pemerintah, jangan tiba-tiba itu terjadi baru bilang dan menyalahkan keadaan,” ujarnya.
Al Araf menilai demokrasi bersifat dinamis dan bisa mundur ketika kekuasaan militer menguat. Apalagi ketika sistem politik kehilangan mekanisme checks and balances. “Rekonsolidasi kekuatan militer melalui revisi UU TNI, kebijakan ekonomi-politik, dan perluasan peran mereka di ranah publik menunjukkan bahwa roda demokrasi Indonesia belakangan ini mulai bergerak mundur,” tuturnya.
Wakil Dekan Bidang Penelitian Pengabdian kepada Masyarakat dan Sistem Informasi FH UGM, Dr. Heribertus Jaka Triyana, S.H., LL.M., M.A berpandangan sama saat memberi kata sambutan. Ia melihat munculnya dorongan sebagian pihak militer kembali terlibat penuh dalam domain sipil, sementara pengawasan melalui democratic civilian control yang seharusnya dijalankan DPR tidak berfungsi sebagaimana mestinya. “Ini yang menjadi referensi kita dalam hubungan sipil militer ke depan. Ini satu proses kita bernegara yang di dalamnya militer nampaknya menjadi aktor penting berpengaruh pada dinamika politik yang terjadi. Semoga dari diskusi ini menghasilkan hal baik untuk ditindaklanjuti,” terangnya.
Penulis : Hanifah dan Lintang
Editor : Agung Nugroho
Foto : Donnie
