Wacana untuk menghapus ambang batas parlemen menuai pro dan kontra, pasca putusan MK menghapus ambang batas pencalonan presiden. Beberapa pihak setuju jika ambang batas ini dihapus agar semua partai terwakili di parlemen. Sebaliknya beberapa pihak seperti di DPR tidak setuju dengan semakin banyak partai akan berdampak pada efektivitas kerja DPR.
Pakar Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM), Alfath Bagus Panuntun, mengatakan perdebatan soal perlu dan tidaknya ambang batas parlemen ini dihapus menekankan dua aspek utama, yakni inklusivitas demokrasi dan efektivitas pemerintahan.
Adanya pihak yang mendukung penghapusan ambang batas ini menurut Alfath dikarenakan selama ini suara partai-partai kecil yang tidak mencapai ambang batas 4 persen menjadi sia-sia dan tidak terwakili di parlemen. “Kalau dihitung-hitung, suara yang terbuang dari partai-partai kecil itu bisa mencapai belasan persen,”katanya, Rabu (5/2).
Di sisi lain, Alfath juga memahami alasan beberapa pihak di DPR RI menolak penghapusan ambang batas parlemen. Menurutnya, semakin banyak partai yang masuk ke parlemen, semakin sulit mengelola kepentingan politik yang beragam, yang dapat berdampak pada efektivitas kerja DPR. “Jumlah partai yang lebih banyak akan menambah beban terkait fraksi, pembagian tugas, dan efektivitas kinerja DPR itu sendiri,” jelasnya.
Bagi Alfath, angka 4% dalam ambang batas parlemen bukanlah angka yang muncul begitu saja, melainkan hasil kompromi antara inklusivitas demokrasi dan efektivitas pemerintahan. “Sebelumnya, ambang batas ini hanya 3,5%, lalu dinaikkan menjadi 4% pada revisi Undang-Undang Pemilu tahun 2017. Angka ini bertujuan untuk menyeimbangkan antara keterwakilan politik dan stabilitas pemerintahan,” terangnya.
Ia berpendapat bahwa mempertahankan bahkan meningkatkan ambang batas parlemen bisa menjadi solusi untuk memperjelas ideologi partai politik. “Dengan ambang batas yang lebih tinggi, partai-partai politik harus memiliki ideologi dan program yang jelas. Kalau tidak, akan sulit menentukan apa yang membedakan satu partai dengan partai lainnya,” ujarnya.
Di sisi lain, masyarakat sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan ada atau tidaknya ambang batas parlemen. “Yang penting adalah fungsi-fungsi DPR berjalan dengan baik, tidak kedap terhadap kritik, dan benar-benar bekerja untuk rakyat,” katanya.
Ia menekankan bahwa efektivitas kerja DPR harus menjadi prioritas utama. Dengan jumlah partai yang lebih sedikit dan lebih terstruktur, proses legislasi dan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah bisa berjalan lebih baik. “Jangan sampai karena ingin mengakomodasi semua kelompok, malah justru yang terlayani adalah kepentingan politisi, bukan rakyat,” tegasnya.
Di akhir pernyataannya, Alfath menegaskan bahwa setiap kebijakan pasti memiliki sisi positif dan negatif. Namun, dalam konteks Indonesia, ia lebih sepakat jika ambang batas parlemen tetap dipertahankan atau bahkan dinaikkan demi efektivitas pemerintahan.“Kebijakan ini harus dilihat dari kebutuhan masyarakat saat ini. Kalau kita ingin DPR yang efektif, maka ambang batas yang ada sebaiknya dipertahankan atau ditingkatkan,” pungkasnya.
Penulis : Rahma Khoirunnisa
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Donnie dan Dok.Kompas