
Selama kurun waktu 2020–2024, defisit anggaran Indonesia tercatat sebesar Rp 3.192 triliun atau rata-rata Rp 638 triliun per tahun. Dengan tax ratio yang stagnan bahkan cenderung menurun senilai 10,07% PDB pada 2024, ruang fiskal pemerintah semakin sempit. Padahal menurut estimasi Bappenas, kebutuhan investasi nasional dalam periode 2025–2029 mencapai Rp 35.400 triliun. Pemerintah hanya dapat menyumbang sekitar 8,4–10,1% dari total kebutuhan tersebut. Di tengah tantangan penerimaan yang terbatas dan kebutuhan belanja yang terus meningkat, pengelolaan defisit anggaran menjadi salah satu kunci penting. Ketika ruang fiskal menyempit dan pembiayaan tidak diarahkan secara produktif, ambisi investasi nasional sebesar Rp7.500 triliun pada tahun 2026, bisa berubah menjadi beban yang justru memperlemah fondasi pembangunan.
Rijadh Djatu Winardi, S.E., M.Sc., Ph.D., CFE, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM menyebut bahwa defisit anggaran harus dilihat bukan sebagai hal yang otomatis negatif, tetapi bergantung pada bagaimana negara mengelolanya. Menurutnya, utang memungkinkan negara tetap berdaya menghadapi krisis, membiayai infrastruktur penting, serta menciptakan keadilan sosial secara jangka panjang. “Utang negara adalah instrumen, bukan ancaman. Jika dikelola secara bijak, transparan, dan produktif, utang bukanlah beban, tetapi alat pembangunan,” ungkap Rijadh, Kamis (10/7), di Kampus UGM.
Saat ini, rasio utang pemerintah relatif terkendali. Hingga akhir Juli 2024, rasio utang Indonesia tercatat sebesar 38,68% terhadap PDB, jauh di bawah ambang batas aman 60% sesuai Undang-Undang No. 17 Tahun 2003. Proyeksi tahun 2025 pun menunjukkan posisi yang stabil di kisaran 37,82–38,71%. Namun, Rijadh mengingatkan bahwa angka rasio yang rendah bukan satu-satunya indikator sehatnya kebijakan fiskal. “Risiko fiskal tetap ada dan harus diantisipasi agar kita tidak terjebak dalam siklus utang yang tidak produktif. Kuncinya adalah memastikan setiap rupiah pinjaman diarahkan ke belanja modal, bukan belanja rutin,” tegasnya.
Rijadh menambahkan, risiko ketergantungan pada utang semakin besar dan bisa membatasi kemampuan negara membiayai belanja produktif jika tidak diantisipasi dari sekarang. Untuk menghindari risiko jangka panjang, ia menekankan pentingnya penerapan fiscal rule yang disiplin, yaitu menjaga defisit tetap di bawah 3% PDB kecuali dalam kondisi darurat seperti pandemi atau resesi. Rijadh juga menekankan perlunya mengevaluasi kualitas belanja negara agar pembiayaan tidak sekadar besar tetapi benar-benar berdampak. “Setiap rupiah harus punya efek pengganda terhadap pertumbuhan ekonomi. Kalau anggaran hanya habis untuk belanja rutin atau program simbolik, maka kita tidak sedang membangun masa depan,” katanya.
Untuk menjawab tantangan pembiayaan, Rijadh menyarankan agar pemerintah tidak hanya mengandalkan utang konvensional, tetapi juga memaksimalkan lembaga pembiayaan non-utang seperti BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang dapat berinvestasi langsung dalam proyek strategis, BLU (Badan Layanan Umum) yang memiliki fleksibilitas keuangan untuk mendukung layanan publik, SMV (Special Mission Vehicles) yang menjalankan pembiayaan infrastruktur berbasis misi khusus, serta SWF (Sovereign Wealth Fund) atau LPI (Lembaga Pengelola Investasi) yang dapat menghimpun modal asing jangka panjang tanpa menambah beban utang negara. Keempatnya, menurut Rijadh, harus bersinergi untuk menciptakan ekosistem pembiayaan yang kuat, terdiversifikasi, dan berkelanjutan.
Rijadh juga menekankan pentingnya efisiensi belanja sebagai kunci dari keberlanjutan fiskal. Ia mencontohkan program besar seperti Makan Bergizi Gratis yang memerlukan evaluasi mendalam dari sisi efisiensi dan efektivitas anggaran. Evaluasi belanja berbasis hasil (result-based budgeting) menurutnya bisa menjadi standar baru dalam perencanaan anggaran nasional. “Setiap rupiah harus punya nilai tambah. Kalau tidak, defisit akan tetap tinggi tapi hasilnya tidak terasa di masyarakat,” ucapnya.
Ia juga menyoroti pentingnya memperluas sumber penerimaan negara sebagai bagian dari strategi keberlanjutan fiskal. Setelah terbentuknya Danantara, Rijadh mengingatkan bahwa pemerintah harus mulai mencari alternatif atas potensi berkurangnya dividen BUMN. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan membenahi tata kelola sektor-sektor sumber daya alam secara transparan. Tidak kalah penting adalah partisipasi publik dalam pengawasan fiskal. “Transparansi anggaran dan partisipasi masyarakat akan meningkatkan legitimasi sistem perpajakan dan fiskal kita. Kalau masyarakat merasa punya kontrol, kepatuhan akan tumbuh dengan sendirinya,” tuturnya.
Melalui pengelolaan defisit yang cermat, inovatif, dan disiplin, serta optimalisasi seluruh instrumen fiskal yang tersedia, Indonesia diyakini tetap bisa menjaga kredibilitas anggarannya sambil menavigasi ambisi besar menuju Rp7.500 triliun investasi. “Tantangannya besar, tapi bukan tidak mungkin, asal dijalankan dengan tata kelola yang kuat dan arah kebijakan yang konsisten,” pungkas Rijadh.
Penulis : Triya Andriyani
Foto : The Jakarta Post