Dosen Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. apt, Chairun Wiedyaningsih, M. Kes., M.App.Sc., resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Bidang Kebijakan Farmasi, Kamis (9/1). Dalam upacara pengukuhan, Chairun menyampaikan pidato Guru Besar yang bertajuk “Peran Strategis Apoteker dalam Penguatan Kebijakan Keamanan Distribusi dan Penggunaan Obat di Masyarakat”.
Dalam pidatonya, Prof. Chairun menjelaskan bagaimana distribusi obat yang tidak diawasi akan menimbulkan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Pengawasan harus dilakukan tidak hanya pada jenis obat-obatan, namun juga pemerataan jenis obat itu sendiri. “Kekosongan obat di beberapa daerah, atau di sisi lain justru jumlah obat tertentu berlebih hingga melewati masa kadaluarsa, risiko penyalahgunaan obat dan peredaran obat ilegal,” jelas Prof. Chairun di ruang Balai Senat.
Ia mengutip hasil survei nasional Badan Narkotika Nasional RI yang menyebutkan kasus penyalahgunaan obat-obatan meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2023, prevalensi penyalahgunaan narkotika mencapai angka 1,73% atau setara dengan 3,3 juta penduduk Indonesia yang berusia 15-64 tahun. Kasus tersebut tidak hanya terjadi pada obat golongan narkotika dan psikotropika, namun juga obat obat tertentu (OOT), seperti tramadol, triheksifenidil, klorpromazin, amitriptilin, haloperidol dan dextromethorphan. Jika kondisi ini tidak ditangani, dikhawatirkan peredaran obat ilegal akan semakin banyak terjadi.“Di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, konsumsi OOT oleh masyarakat khususnya generasi muda ditemukan masih marak. Hingga bulan Agustus 2021, menunjukkan 88 % adalah OOT,” terang Chairun.
Sejumlah data juga menunjukkan penggunaan obat-obatan berlebihan di negara berpendapatan rendah dan menengah. Meskipun Indonesia masih dikategorikan rendah, yakni kurang dari 10.000 kasus, hal ini disebabkan sistem pelaporan farmakovigilans yang perlu dibenahi.
Menurutnya pemerintah perlu meninjau dan memperhatikan jalur distribusi obat di masyarakat, aksesibilitas dan proses jual beli. Rantai distribusi obat di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keterlibatan Distributor (PBF), yang mana Badan POM menetapkan standar Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) untuk menjamin mutu dan keamanan obat yang didistribusikan. “Salah satu tantangannya adalah distribusi yang melibatkan banyak pihak, mulai dari supplier, manufaktur, retailer, hingga konsumen,” katanya.
Seiring ditemukan obat-obatan tersebut sudah tidak layak konsumsi bahkan palsu dan adanya proses jual beli daring/online, peredaran obat semakin jauh dari pengawasan. Menurutnya, apoteker memiliki peran penting untuk memastikan keamanan obat yang dikonsumsi masyarakat.
Penulis : Tasya
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Firsto