Doping merupakan obat perangsang untuk meningkatkan daya atau tenaga. Kandungan senyawa doping dapat tersedia dalam bentuk obat, suplemen, hormon, dan sebagainya. Akibat doping ini, banyak atlet dicabut gelar juaranya karena terbukti mengonsumsi doping. Kita masih ingat, bendera merah putih dilarang untuk dikibarkan ketika penyerahan medali emas di ajang kejuaraan Thomas Cup 2021 karena badan anti doping dunia World Anti-Doping Agency (WADA) melarang tim Indonesia mengibarkan bendera merah putih sebagai sanksi atas kurang maksimalnya upaya antisipasi pencegahan penggunaan doping pada Atlet Indonesia. Bahkan, pada Pekan Olahraga Nasional (PON) di Papua tahun 2022 lalu, tiga atlet peraih medali Emas, 1 Perak dan 1 Perunggu juga dicabut gelar juaranya akibat mengonsumsi doping.
Hasil studi yang dilakukan oleh Dr.rer.nat. apt. Arko Jatmiko Wicaksono, M.Sc., peneliti Pusat Kedokteran Herbal sekaligus dosen Departemen Farmakologi dan Terapi FK-KMK UGM bersama tim, menemukan terdapat lebih dari 2.500 produk obat dan suplemen kesehatan teregistrasi BPOM yang diduga mengandung senyawa doping. “Di luar itu, masih ditemukan suplemen tak teregistrasi BPOM beredar secara luas dan mudah dibeli justru melalui online shop,” kata Arko dalam keterangannya kepada wartawan, Jumat (16/2).
Arko menyebutkan salah satu produk obat yang memiliki kandungan senyawa pseudoephedrine merupakan senyawa doping. Sebab, senyawa sebagai alkaloid, agen simpatomimetik, yang umumnya digunakan sebagai dekongestan yang biasanya untuk meringankan gejala hidung tersumbat pada kondisi terserang flu. Padahal, sejak Januari 2024 setidaknya terdapat 318 jenis produk obat teregistrasi BPOM yang mengandung senyawa pseudoephedrine. “Bagi non-Atlet, senyawa tersebut boleh saja dikonsumsi untuk mengatasi gejala flu. Namun bagi Atlet, penggunaan obat-obatan tersebut sangat diatur bahkan cenderung dilarang oleh WADA,” ujar Arko.
Bukan hanya senyawa pseudoephedrine saja yang pemakaiannya diatur atau bahkan cenderung dilarang oleh WADA tetapi ada lebih dari 400 jenis senyawa doping yang masuk dalam daftar terlarang. “Untuk satu jenis senyawa doping, bisa terkandung dalam belasan hingga ratusan produk obat,” tambah Arko.
Untuk mencegah atlet agar tidak mengonsumsi senyawa yang dikategori doping, Arko bersama dua orang mahasiswa S1 Kedokteran UGM, Santi Andriyani dan Christopher William, melakukan pemetaan produk-produk obat dan suplemen kesehatan mengandung senyawa doping yang beredar di Indonesia. Selanjutnya, seluruh daftar produk obat dan suplemen mengandung senyawa doping dikonversi menjadi semacam katalog-pencarian online berbasis website.
Pembuatan aplikasi Skrining Doping ini, kata Arko, pihaknya bekerja sama Komite Olahraga Nasional Indonesia – Daerah Istimewa Yogyakarta (KONI DIY) serta beberapa mahasiswa Universitas Teknologi Digital Indonesia (UTDI). Selain itu, didukung oleh Lembaga IADO (Indonesian Anti-Doping Organization) yang berkedudukan langsung dibawah Kementrian Pemuda dan Olahraga.
Bagi Arko, aplikasi ini diharapkan bisa membantu para atlet, pelatih, tim paramedis, dokter, apoteker dan ners dalam mengambil keputusan apakah suatu obat atau suplemen kesehatan boleh dikonsumsi oleh atlet atau tidak. “Kita ingin para atlet dapat terhindar dari ketidaksengajaan mengonsumsi doping,” paparnya.
Penulis : Gusti Grehenson
Foto : Freepik
MBKM
IKU 5 Hasil Kerja Dosen Digunakan oleh Masyarakat