
Polemik royalti musik yang panjang menciptakan berbagai persoalan yang timbul di tengah masyarakat. Pasalnya penarikan biaya royalti yang dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dinilai tidak jelas. Hal tersebut disebabkan belum adanya sosialisasi terhadap para pelaku usaha. Tidak adanya klasifikasi yang detail siapa saja pelaku usaha yang diwajibkan membayar ini juga menambah beban bagi pelaku usaha kecil. Penyamarataan penghitungan pembayaran inilah yang menjadi problem. Selain itu, disebutkan oleh beberapa musisi bahwa royalti yang mereka terima berbanding jauh dengan jumlah pemutaran lagu.
Kepala Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, I Wayan Nuka Lantara, M.Si., Ph.D., menyebutkan bahwa kondisi ekonomi yang tidak stabil di Indonesia saat ini membuat permasalahan mengenai royalti ini sangat berpengaruh. Dari segi prakteknya, permasalahannya disini tidak hanya pelaku bisnis besar, pelaku bisnis kecil dengan profit yang tidak seberapa juga memiliki kewajiban untuk membayar besaran royalti yang sama dengan bisnis besar. “Jadi, selama ini keuntungan mereka yang sudah kecil itu nanti akan berkurang lagi gara-gara dialokasikan bayar royalti”, terangnya. Ditambah kondisi ekonomi yang kurang stabil dan jumlah pengunjung yang turut berkurang juga semakin menambah berat untuk para pelaku bisnis kecil untuk membayar royalti, tambahnya.
Dampaknya restoran atau pun kafe dengan profit yang cenderung masih kecil saat ini justru memilih untuk tidak memutar musik. Kekhawatiran atas penarikan royalti musik ini membuat mereka terpaksa melakukan hal tersebut agar bisnis mereka dapat terus berjalan. Selain itu, jalan lain yang diambil adalah memutar bunyi-bunyian alam yang terkadang suara yang diambil juga memiliki hak terkait.
Disisi lain, Wayan juga mengungkapkan adanya penarikan royalti musik ini untuk melindungi karya seni di Indonesia. Selama ini banyak pebisnis menikmati hasil karya orang lain untuk tujuan komersil tanpa membayar sepeserpun. “Alasannya karena mereka sudah berlangganan melalui youtube atau pun spotify. Sebenarnya langganan platform musik ini diperuntukkan untuk konsumsi pribadi,” katanya.
Penyelesaian mengenai permasalahan ini diperlukan kerja sama dari dua sisi. Lembaga Manajemen Kolektif sebagai pihak yang memiliki wewenang dalam penarikan royalti disini diharapkan mampu lebih transparan mengenai distribusi royalti. Lalu selanjutnya, sosialisasi terhadap pihak-pihak terkait juga diperlukan untuk memastikan bahwa para pelaku usaha paham mengenai ketentuan pembayaran royalti yang digunakan dalam usahanya.
Wayan juga menekankan bahwa yang perlu dilakukan saat ini adalah peninjauan ulang kebijakan mengenai pembayaran royalti bagi pelaku usaha kecil. Ia pun menganalogikan pembayaran royalti dengan bayar pajak yang mana terdapat kebijakan progresif. “Jika seseorang pendapatannya kecil, dia kan nggak akan sampai kena rilis pajak yang paling tinggi sebagaimana halnya orang dengan pendapatan besar”, jelasnya.
Peraturan yang ada saat ini sudah baik akan tetapi apabila tidak dibarengi dengan sosialisasi kepada pihak-pihak terkait kebijakan yang ada tidak akan tersampaikan dengan baik. Tak hanya itu, hal ini juga menyangkut permasalahan transparansi dan akuntabilitas dari pihak yang berwenang atas penarikan biaya royalti.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik