
Fenomena kasus kecurangan atau fraud tengah menjadi perhatian serius di berbagai sektor baik di lingkungan binis maupun pemerintahan. Dalam bidang ekonomi tindak kecurangan ini dilakukan secara sengaja untuk mendapatkan keuntungan finansial pribadi atau kelompok dengan cara-cara melanggar hukum dan etika bisnis, serta merugikan pihak lain. Fraud berdampak signifikan bagi perusahaan, nasabah, investor hingga berpengaruh pada stabilitas ekonomi yang lebih luas.
Dosen Departemen Akuntansi FEB UGM, Arika Artiningsih, M.Acc., M.Com., M.Res., Ph.D., CFE., CPA (Aust.) mengatakan bahwa fraud adalah aktivitas yang menggunakan bentuk tipu daya untuk memperoleh keuntungan. Beragam cara fraud baik melalui representasi palsu, kelicikan, dan cara tidak adil untuk menipu korban. “Fraud ini memiliki karakteristik khas, yaitu pengelabuan, dilakukan secara sengaja, ditutup-tutupi, dan menimbulkan kerugian,” jelasnya di FEB UGM, Kamis (23/10).
Mengupas topik Menginvestigasi Fraud: Peran Jurnalis dalam Mengungkap Kecurangan dan Melindungi Publik, Arika menjelaskan dalam praktiknya, fraud mencakup korupsi, penyalahgunaan aset, dan kecurangan atas laporan keuangan. Berdasarkan laporan ACFE Occupational Fraud 2024, bentuk fraud yang paling sering terjadi secara global adalah penyalahgunaan aset yang mencapai 89 persen kasus dengan kerugian yang relatif kecil. Sebaliknya, fraud laporan keuangan paling jarang ditemukan namun menimbulkan kerugian terbesar mencapai USD 766.000. “Berbeda dengan Indonesia, hasil survei ACFE menunjukkan kasus korupsi di Indonesia mendominasi sementara penggelapan aset banyak dilakukan oleh pegawai pemerintah dan termasuk dalam kategori korupsi,” terangnya.
Menurut Arika tidak ada karakteristik demografis dan psikologis khusus pelaku fraud. Sebab, fraud dapat dilakukan oleh siapa saja dan sangat sulit untuk memprediksi karyawan, vendor, klien, dan pelanggan yang berpotensi tidak jujur. Semakin lama bekerja di perusahaan biasanya semakin ia paham celah dalam sistem organisasi dan potensi kecurangan meningkat. “Sebagian besar fraud dilakukan dengan berkolusi, melibatkan lebih dari satu pelaku dengan memengaruhi individu lain untuk berpartisipasi,” ungkapnya.
Meski mengkhawatirkan, bagi Arika tetap saja ada beberapa red flags atau tanda-tanda awal yang perlu atau bisa diwaspadai. Beberapa tanda tersebut seperti adanya anomali akuntansi, kelemahan sistem pengendalian internal, perilaku hidup mewah yang tidak sesuai penghasilan, hingga adanya keluhan atau laporan mencurigakan. “Beberapa kasus yang dibahas adalah manipulasi laporan keuangan Garuda Indonesia dan pemalsuan cap emas ANTAM,” tuturnya.
Dalam situasi seperti ini, kata Arika, jurnalis memiliki peran penting dalam menjaga integritas pemberitaan kasus fraud. Ia mengingatkan agar setiap liputan berpegang pada Kode Etik Jurnalistik dengan menjunjung asas praduga tak bersalah. Diupayakan dengan menggunakan istilah yang netral, menjaga keseimbangan sumber berita, menolak segala bentuk gratifikasi, dan melindungi identitas whistleblower. “Bahasa yang jelas dan edukatif dalam pemberitaan menjadi kunci agar publik dapat memahami modus fraud tanpa bersifat menghakimi,” imbuhnya.
Reportase: Kurnia Ekaptiningrum/Humas FEB
Penulis : Agung Nugroho
Foto : Kompas dan Dok. FEB