Kemiskinan masih menjadi persoalan yang menghantui bagi banyak negara dunia termasuk di Indonesia. Upaya pengentasan kemiskinan pun, khususnya kemiskinan ekstrem menjadi tujuan utama dalam agenda pembangunan berkelanjutan (SDGs) 2030.
Pada tahun 2022 tercatat jumlah penduduk miskin di Indonesia 26.161,19 ribu jiwa dan hampir setengahnya ada di provinsi Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Sedangkan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk di Indonesia yang diukur dengan rasio gini mengalami sedikit peningkatan, yaitu dari 0,381 pada September 2021 menjadi 0,384 pada Maret 2022.
Sementara itu upaya kemiskinan dan mengurangi ketimpangan di Indonesia dihadapkan dengan beberapa isu dan tantangan. Salah satunya adalah perubahan indikator kemiskinan yang menyebabkan tingkat kemiskinan Indonesia meningkat berdasarkan standar internasional.
“Tantangan lainnya yaitu tetap mempertahankan tren penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia apabila terjadi shock pada perekonomian karena pandemi COVID-19 yang berakibat pada penurunan tingkat kesejahteraan sebagian besar rumah tangga di Indonesia,”papar Asih Murwiati, mahasiswa program doktor FEB UGM, saat mempertahankan disertasi berjudul Dekomposisi Kemiskinan dan Ketimpangan, Deprivasi Multidimensi Pada Anak-anak dan Kemiskinan Ekstrem dalam ujian terbuka prorgam doktor, Jumat (8/9) di kampus setempat.
Dosen FEB Universitas Lampung ini melakukan penelitian mengenai kemiskinan dan ketimpangan di Indonesia menggunakan data Indonesian Family Life Survey (IFLS 1997, 2000, 2007 dan 2014). Hasilnya diketahui bahwa variabel komposit perlindungan sosial secara statistik signifikan. Kondisi ini menunjukkan peran program perlindungan sosial sangat diperlukan dalam upaya menurunan ketimpangan. Selain itu, ketimpangan pendidikan memiliki angka tertinggi yang mengindikasikan ketimpangan di bidang pendidikan sangat krusial dan perlu solusi kebijakan yang efektif.
Temuan lain menujukkan kelompok deprivasi sedang merupakan kelompok dengan jumlah penderita deprivasi terbanyak. Polanya konsisten pada setiap periode survei. Namun, pola pergeseran pada kelompok rendah dan tinggi belum konsisten mengalami penurunan. Pola deprivasi yang terjadi berdasar kelompok umur memberikan indikasi bahwa pada masing-masing kelompok umur terdapat pola pergerakan turun atau naik yang tidak konsisten. Hal ini terjadi pada anak-anak yang berada pada umur tertinggi pada masing-masing kelompok.
“Pengeluaran rumah tangga pada 4 periode survei mengalami perubahan yang disebabkan oleh karakteristik rumah tangga secara gradual. Variabel bebas secara gradual memiliki pengaruh signifikan pada tiap periode. Pada sisi kemiskinan ekstrem, pendidikan dan jenis kelamin kepala rumah tangga menentukan status miskin ekstrem,”paparnya.
Lebih lanjut Asih merekomendasikan evaluasi rutin terhadap skema perlindungan sosial. Sebab, dapat memberi kontribusi besar terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan dengan kajian spasial yang akan mampu menangkap karakteristik kedaerahan.
Sementara dalam menyusun kebijakan anti kemiskinan diharapkan dapat meningkatkan fokus pada peningkatan kesejahteraan ana-anak. Hal ini perlu dilakukan mengingat anak-anak adalah kelompok rentan miskin. Deprivasi yang dialami akan membawa pengaruh pada kehidupan jangka panjangnya.
“Soal penurunan kemiskinan ekstrem memerlukan serangkaian pendekatan termasuk inklusi keuangan dan aksesibilitas terhadap pelayanan dasar. Kebijakan ini tidak dapat berjalan sendiri melainkan multi satuan kerja, sebab perlindungan sosial saja belum cukup memberi respons cepat terhadap penurunan kemiskinan ekstrem,”urainya.
Penulis: Ika