Dunia dihadapkan dengan berbagai krisis seperti pemanasan global, kesenjangan ekonomi, dan risiko teknologi digital yang bisa memberikan jalan bagi eksistensi oligarki. Untuk memahami kondisi tersebut, perlunya pengembangan teori yang tidak hanya rasional tetapi juga menyertakan unsur emosi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Hal itu mengemuka dalam Konferensi internasional soal Ketahanan Sosial dan Perdamaian pada The 13th International Graduate Students and Scholars’ Conference in Indonesia (IGSSCI) di Ruang Seminar Sekolah Pascasarjana (SPs) UGM, Rabu (5/11).
Konferensi yang diselenggarakan oleh SPs UGM ini menghadirkan Dosen Prodi CRCS Sekolah Pascasarjana UGM Prof. Frans Wijsen, Sosiolog dari University of London Prof. Mike Featherstone, Guru Besar Departemen Hubungan Internasional UGM Prof. Dr. M. Mohtar Mas’oed dan akademisi dari Shizuoka University, Jepang, Prof. Takenouchi Hirobumi dan akademisi dari George Mason University Dr. Soonjung Kwon.
Frans Wijsen mengatakan bukan hanya dunia global, Indonesia juga menghadapi tantangan ekologis yang memiliki akar lokal tetapi berdampak global. Krisis lingkungan seperti pencemaran air, udara, dan tanah, kebakaran hutan, pertambangan, serta penggunaan pupuk dan pestisida berlebihan menjadi penyebab utama degradasi lingkungan.
Bahkan deforestasi untuk perkebunan dalam skala besar turut mempercepat perubahan iklim. Tidak hanya itu, Indonesia dikenal sebagai negara penyumbang limbah plastik signifikan yang berakhir di laut. “Kearifan lokal sesungguhnya dapat menjadi jawaban, meskipun perlu banyak penyesuaian,” kata
Mike Featherstone menuturkan untuk mengatasi krisis lingkungan dan memperkuat ketahanan sosial ini menciptakan perdamaian global dibutuhkan keterlibatan empati dan refleksi dalam menganalisa perubahan zaman.
Sementara itu, Mohtar Mas’oed membahas praktik kolaborasi masyarakat sipil. Ia menyoroti upaya organisasi Gita Pertiwi di Surakarta dalam menangani penyalahgunaan pestisida yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan. Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa Gita Pertiwi bekerja bersama jaringan nasional dan internasional untuk mempromosikan pengelolaan hama terpadu, pendidikan petani, serta pelaporan publik berbasis teknologi digital. Selain itu, ia juga menyinggung kolaborasi masyarakat dalam mengatasi kekerasan berbasis gender yang digagas oleh Rifka Annisa di Yogyakarta, yang menunjukkan bahwa pembangunan perdamaian harus menekankan keadilan sosial.
Soonjung Kwon menekankan bahwa pendidikan dapat menjadi solusi kolektif atas trauma kolektif masyarakat Korea yang masih terpecah akibat Perang Korea dan kolonialisme. Akan tetapi, peran guru dalam mengajarkan perdamaian menjadi terhambat karena pendidikan politik di ruang kelas yang dituntut netral. “Pendidikan berperan sebagai ruang dialog untuk mengatasi perbedaan perspektif dan membicarakan isu perdamaian bagi guru dan siswa,” ujarnya.
Sedangkan Takenouchi Hirobumi menyampaikan gagasan membangun komunitas yang mampu menerima kehilangan dan kematian. Di Jepang, Takenouchi telah terlibat selama lebih dari satu dekade dalam perencanaan kota Matsuzaki untuk menjadikannya percontohan kota yang “bersyukur” dan peduli. “Populasinya lima ribu penduduk dan saya membentuk asosiasi bernama Compassion and Dialogue,” ujarnya.
Seperti diketahui konferensi internasional ini menjadi forum antar akademisi dan pakar untuk membahas isu ketahanan sosial dan perdamaian. Prof. Siti Malkhamah, Dekan Sekolah Pascasarjana UGM, menyampaikan apresiasinya atas partisipasi lebih dari seratus peneliti, akademisi, dan mahasiswa dari berbagai negara dalam konferensi IGSSCI ke-13 ini. Ia menekankan ini menjadi wadah untuk berdialog sekaligus mencerminkan komitmen Sekolah Pascasarjana UGM dalam mewujudkan visi yang berorientasi global dan berpijak pada nilai lokal.
Penulis : Hanifah dan Ika Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik
