
Keanekaragaman hayati merupakan salah satu faktor penting bagi keberlangsungan planet ini. Hal ini dikarenakan seluruh makhluk hidup yang ada di bumi menjalankan fungsinya masing-masing yang saling berkaitan dalam hubungan yang harmonis untuk menjaga berjalannya keberlangsungan kehidupan di muka bumi ini. Semakin belajar tentang keilmuan, semakin menyadarkan manusia tentang kekompleksan di dalamnya. Kompleksitas tersebut menjadi fokus kajian dalam berbagai bidang sains, terlebih dengan berbagai data yang kini mudah didapatkan yang dapat mengungkap rahasia di balik kehidupan baik dari sisi molekuler hingga ranah ekologi.
Prof. Dr. Thomas Sicheritz Pontén dari University of Copenhagen, membagikan pengalamannya di Denmark terkait kehidupan organisme di bumi. Ia menjelaskan bahwa kematian organisme dapat memicu munculnya 10 hingga 29 jenis penyakit dalam satu hari, sekaligus mengakibatkan hilangnya sekitar 40 persen populasi bakteri setiap harinya. “Kita juga perlu membahas tentang bakteriofag atau fag, yaitu virus yang secara khusus menyerang bakteri, dan tidak menyerang organisme lain,” jelas Thomas dalam konferensi internasional The 9th International Conference on Biological Sciences (ICBS) yang “Unraveling Biodiversity through Multi-Omics Integration: From Genes to Ecosystems” yang diadakan oleh Fakultas Biologi UGM pada 17-18 Oktober lalu di Loman Park Hotel Yogyakarta.
Menurutnya, sifat fag atau bakteriofag yang hanya menyerang bakteri menjadikannya potensi besar dalam mengatasi resistensi antimikroba. Ia menambahkan, secara jumlah, fag merupakan entitas biologis terbanyak di bumi diperkirakan mencapai 10³¹ partikel. “Jika seluruh fag disusun berjajar, panjangnya bisa menembus keluar dari tata surya,” katanya.
Sebagai inovasi lanjutan, timnya kini mengembangkan sistem Phage Cloud ialah model berbasis knowledge graph yang menghubungkan data genom fag dari berbagai inang seperti Salmonella dan E. coli. Melalui ini, dapat memprediksi hubungan antar-fag, mengidentifikasi fag baru yang potensial sebagai agen antibakteri, hingga memahami bagaimana fag bekerja sama atau bersaing dalam ekosistem mikroba.
Sedangkan, Guru Besar Fakultas Biologi UGM, Prof. Dra. Tuty Arisuryanti, M.Sc., Ph.D., mengemukakan tentang penelitian genetik membantu memahami dan melindungi kehidupan hewan. Menurutnya, Indonesia memiliki keberlimpahan biodiversitas dengan adanya dua hotspot yaitu Sundaland dan Wallacea. Namun, masih banyak spesies yang tidak dikenal secara data padahal library genetik menjadi pondasi untuk keamanan keberagaman.
Dalam paparannya, Tuty mencontohkan beberapa hasil penelitian di Sulawesi salah satunya kerang air tawar endemik Sulawesi, Pokea, yang jejak evolusinya sudah jutaan tahun. “Kondisi menunjukkan pentingnya pendekatan genetik dalam menentukan unit-unit biologis yang signifikan bagi upaya penyelamatan spesies,” katanya.
Lebih lanjut, Tuty menjelaskan data genetik berperan dalam perancangan strategi konservasi berbasis bukti (evidence-based conservation). Ia menyerukan bahwa dengan memahami genomik biodiversitas tropis, Asia Tenggara dapat berkontribusi besar dalam menghadapi isu global, dari ketahanan iklim hingga pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan.
Masih terkait keberagaman, Prof. Bent Petersen dari Fakultas Kesehatan dan Kedokteran, Universitas Copenhagen, Denmark, menyebutkan fakta bahwa sekarang biodiversitas sedang mengalami krisis, spesies menghilang lebih dari seratus hingga seribu kali lebih cepat daripada ratusan latar belakang alam. “Dan sejak tahun 1970, kita memiliki kekurangan populasi global vertebrae lebih dari 70 persen,” ungkapnya.
Di sisi lain, dari penelitiannya menyebutkan bahwa ternyata fag mempunyai kontrol besar terhadap populasi. Salah satu penelitian di hutan hujan Malaysia, timnya berhasil menemukan tiga belas jenis fag baru dengan karakter genetik hampir serupa, tetapi memiliki kemampuan bertahan dalam kondisi ekstrem yang berbeda. “Saya kira ini menjadi bukti bahwa wilayah tropis, termasuk Indonesia, menyimpan potensi besar bagi pengembangan riset bioteknologi,” paparnya.
Dekan Fakultas Biologi UGM, Prof. Dr. Budi Setiadi Daryono, menyampaikan penguatan integrasi biologi modern dari gen hingga ekosistem dalam memahami dan melestarikan keanekaragaman hayati, dengan dukungan kemajuan genomik, bioinformatika, bioteknologi, dan biologi sintetis. “Kami yakin bahwa melalui kolaborasi yang kuat, kami dapat berkontribusi pada kemajuan ilmiah global,” ungkapnya.
Sementara Dr. Danang Sri Hadmoko, S.Si., M.Sc., selaku Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha, dan Kerja Sama menyampaikan bahwa Indonesia merupakan salah satu tempat dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, namun hal tersebut datang bersama dengan tanggung jawab yang juga sama besarnya untuk melestarikan semua hal tersebut. “Kita harus mengelola, melestarikan, dan memanfaatkan kekayaan alam ini secara bijak agar tetap berkelanjutan bagi generasi mendatang baik di darat maupun di laut,” pesannya.
Penulis : Leony dan Hanifah
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Salwa, Jesi dan Freepik