
Banyak negara di dunia saat ini tengah menghadapi berbagai ketegangan yang terjadi baik dalam skala nasional maupun global. Terlebih dengan adanya perang dagang yang diprakarsai oleh Kebijakan Tarif Trump, disrupsi rantai pasok global, dan juga peningkatan otoritarianisme serta konflik bernuansa politik dan agama. Oleh karena itu komunikasi lintas kelompok dianggap menjadi kunci untuk menghadapi dampak negatif polarisasi dan mendorong kerjasama yang lebih sehat. Hal itu mengemuka Unconference “Polarization and Its Discontent in the Global South: Mitigation Measures, Strategies and Policies”, pada 24-25 April lalu di UC Hotel, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM ini membahas 4 klaster utama soal isu polarisasi yaitu, Polarisasi Berbasis Agama; Polarisasi dan Keadilan Lingkungan; Gender, Polarisasi, dan Keadilan Sosial; serta Inklusi Digital bagi Kelompok Minoritas.
Dicky Sofjan, MA, MPP., Ph.D., selaku Dosen ICRS dalam keterangan kepada wartawan, Senin (28/1), mengatakan negara perlu melakukan mitigasi setiap gejala polarisasi di masyarakat dengan menelurkan kebijakan publik yang strategis untuk program-program yang berkaitan dengan depolarisasi. Sementara Dr. Zainal Abidin Bagir, salah satu pemikir dan aktivis HAM dan Kebebasan Beragama dari Sekolah Pascasarjana UGM mengatakan agama sering dijadikan alat politik yang memperdalam perpecahan sosial, sehingga narasi keagamaan yang inklusif bisa menjadi penawar konflik identitas. Bersama beliau.
Dalam Talkshow yang bertajuk “Polarization and Its Discontent in The Global South” menjadi pembuka pada unconference tersebut, Daniel Medina dari Institute for Integrated Transitions, Kolombia, mengatakan transisi politik di Kolombia selalu melihat polarisasi sebagai hyper problem, artinya masalah yang memperparah penyelesaian konflik lain. Menurutnya, polarisasi dapat menimbulkan imobilitas sosial, dan membuat perpecahan yang mencolok dalam kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. “Polarisasi pun dapat memperlebar jurang ketidaksetaraan dan juga menghambat penyelesaian masalah struktural yang lain,” katanya.
Ana Carolina Evangelista dari Instituto de Estudos da Religião (ISER) Brasil menyoroti polarisasi di Brasil terjadi akibat hasil radikalisasi politik. Ia menjelaskan bahwa selama ini Brasil memang selalu memiliki beragam partai dan ideologi, tetapi yang baru-baru ini terjadi adalah kutub-kutub politik ini menjadi semakin tertutup dan intoleran terhadap keragaman. Ana menekankan bahwa saat ini diskursus politik di Brasil mengandung intoleransi yang lebih besar terhadap perbedaan dan cenderung menggunakan retorika ekstremis ketika menghadapi krisis sosial-ekonomi. “Dalam politik Brasil akhir-akhir ini perdebatan agama masuk ke ranah publik, memperkuat polarisasi antar-ideologi,” ungkapnya.
Nicholas Adams dari University of Birmingham, Inggris, berpendapat polarisasi ini dari sisi isu-isu keagamaan dan sosial di Inggris. Ia memperkenalkan konsep “cui bono” (siapa yang diuntungkan). Bagi Nicholas, polarisasi lebih sering berupa sesuatu yang dibuat oleh aktor-aktor tertentu, Dalam pandangannya, polarisasi menghasilkan “kita vs mereka” yang bersifat artifisial. Nicholas pun juga menyoroti fakta bahwa kota Birmingham yang memiliki 2,2 juta jiwa dengan komposisi penduduknya yang 30% muslim, 30% kristiani, dan sisanya tidak beragama, tidak terpolarisasi secara nyata berdasarkan agama. Ia memberikan contoh bahwa isu utama warga Birmingham sebenarnya adalah pemogokan petugas kebersihan, di mana pemimpin lintas agama bekerjasama menyelesaikan masalah tersebut, dan bukannya terjadi konflik agama. “Saya kira hal ini menunjukkan polarisasi sering kali dibesar-besarkan oleh narasi politik,” katanya.
Peneliti IMAN Research, Malaysia, Nurhuda Ramly, menjelaskan soal dinamika antar etnis dan agama yang ada di Malaysia. Huda memaparkan bagaimana Islamisasi politik sebagai contoh polarisasi etnik-agama di Malaysia. Ia menjelaskan bagaimana kebijakan tahun 1980-an yang menonjolkan Islam Melayu di puncak konstitusi menyebabkan ketegangan dengan komunitas non-Muslim yang ada di Malaysia. Dengan munculnya kementerian agama nasional yang mengatur berbagai aspek kehidupan, kebijakan baru seperti larangan simbol-simbol agama minoritas dalam acara publik dibuat secara birokratis. Kasus nyata yang disebut adalah bagaimana perubahan regulasi membuat kelompok non-Muslim merasa terpinggirkan. “Hasilnya, narasi kebencian terhadap minoritas bisa dengan mudah disebarkan oleh aktor politik untuk meraih dukungan pemilih mayoritas,” katanya.
Penulis : Leony
Editor : Gusti Grehenson