
Tujuh puluh tahun setelah Konferensi Bandung yang bersejarah pada tahun 1955, di mana dua puluh sembilan pemimpin dari Asia dan Afrika bersatu menentang kolonialisme dan merumuskan visi baru dunia, semangat Bandung tetap relevan hingga saat ini.
Dekan Fisipol UGM, Wawan Mas’udi, S.IP., MPA., Ph.D, mengatakan Bandung Spirit yang lahir dari Konferensi Asia-Afrika 1955 menjadi tonggak kolaborasi global, gerakan solidaritas, kerja sama, dan pembangunan yang menjadi ciri perjuangan negara-negara Selatan. “Semangat Bandung, sebagaimana kita ketahui, merupakan bentuk kekuatan yang terdefinisikan berupa solidaritas, kerjasama, dan pembangunan,” kata Wawan dalam Annual Convention on the Global South (GO SOUTH 2025) di Auditorium Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada, Rabu (1/10).
Menurut Wawan, Konferensi Bandung merupakan momen penting dalam sejarah yang mengobarkan gelombang perjuangan anti-kolonial dan solidaritas di antara negara-negara yang baru merdeka. Namun, sekarang ini proyek emansipasi global ini menghadapi tantangan berat, mulai dari tekanan imperialis, gesekan internal, hingga krisis utang yang membelenggu kemerdekaan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan.
Konferensi GO SOUTH 2025 kali ini mengusung tema “70 Years Bandung Spirit: Reinvigorating Decolonial Struggle amidst Geopolitical Turbulence” dalam rangka memperingati 70 tahun semangat Konferensi Asia-Afrika. Acara ini menghadirkan Guru Besar dari University of Melbourne Prof. Vedi R. Hadiz, Dean of the School of International Studies Xiamen University Prof. Yanjie Gao, Dr. Diah Kusumaningrum dari Fisipol UGM, Kamari Clarke dari University of Toronto, Muhadi Sugiono dari Departemen Hubungan Internasional Fisipol UGM, Francisco Urdinez dari Pontificia Universidad Católica de Chile dan Guru Besar Fisipol UGM Prof. Poppy Sulistyaning Winanti.
Yanjie Gao menyoroti peran Global South dalam transformasi global yang menuntut adanya agensi intelektual dan menekankan hal tersebut sebagai cerminan akan sejarah dan aspirasi mereka untuk mewujudkan peran lembaga dan transformasi global. Ia menegaskan bahwa prinsip non-intervensi, solidaritas, dan swasembada yang terekam menjadi sejarah dalam perjuangan Indonesia masih relevan hingga kini.
Sementara itu, Diah Kusumaningrum selaku penyelenggara GO SOUTH tahun ini mengingatkan bahwa saat ini dunia tegar menghadapi turbulensi geopolitik dan perjuangan dekolonial yang masih berlanjut. Diah juga menyoroti pentingnya peran akademisi, mahasiswa, dan komunitas yang terdampak dalam menghadapi tantangan kontemporer mulai dari krisis iklim hingga aktivisme. “Masyarakat global mengekspresikan kecintaan mereka terhadap kebebasan dan keadilan sosial dan ini untuk memulai proses pembelajaran kolektif,” katanya.
Sedangkan Vedi Hadiz menekankan perlunya memahami dekolonisasi pengetahuan sebagai upaya emansipasi akademik dan sosial. Vedi mengkritik adanya dominasi donor Barat yang kerap menentukan arah penelitian di negara-negara Selatan. Ia mengungkapkan pentingnya pembangunan dari sumber pengetahuan alternatif yang lahir dari adanya pengalaman di negara-negara Selatan, bukan hanya mengikuti agenda donor negara-negara Barat. ““Kita sebagai peneliti di Asia dan negara-negara berkembang lainnya mungkin perlu memikirkan cara untuk membebaskan diri dari tuntutan penelitian yang didorong oleh donor,” ujarnya.
Vedi juga menyoroti kasus eksploitasi sumber daya alam di Indonesia sebagai dark corners yang sering diabaikan, padahal hal tersebut mencerminkan adanya praktik kolonialisme negara terhadap rakyatnya sendiri. Menurutnya, dalam kerjasama internasional, Indonesia masih banyak bergantung pada investasi melalui proyek hilirisasi dan infrastruktur. Meski sering dipromosikan sebagai bentuk South-to-South cooperation, pada kenyataannya kerja sama yang diusung didominasi oleh kepentingan elit politik dan ekonomi.
Seperti diketahui, konferensi ini dihadiri oleh praktisi dan akademisi dari 13 negara berbeda dalam lingkup Global South, termasuk Mr. Vijay Sardaraj selaku Wakil Kepala Misi Diplomatik Afghanistan. Rangkaian acara GO SOUTH pada tahun ini turut didukung atas kolaborasi dari Xiamen University, Global Humanities Alliance, Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fisipol UGM, serta Institute of International Studies UGM.
Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengembangan Usaha, dan Kerja Sama UGM, Dr. Danang Sri Hadmoko, dalam welcome Dinner yang dilaksanakan sehari sebelumnya, mengapresiasi terselenggarakan konferensi internasional yang membangun semangat kolaborasi lintas bangsa. “Perjalanan panjang yang ditempuh para delegasi menunjukkan dedikasi untuk hadir. Dialog dan seminar hari ini adalah wujud dari upaya bersama untuk berbagi visi, pengetahuan, dan empati agar dunia menjadi tempat yang lebih baik. Proses ini mungkin masih dini, namun semangat kolektif akan melahirkan capaian luar biasa,” jelasnya.
Penulis : Cynthia Noviana dan Kezia Dwina Nathania
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Dok. Fisipol