![](https://ugm.ac.id/wp-content/uploads/2025/02/WhatsApp-Image-2025-02-11-at-13.44.04-e1739259890859-803x510.jpeg)
Masalah lingkungan saat ini sedang menjadi perhatian banyak pihak. Menurut laporan Berkeley Earth, pada tahun 2023 suhu udara telah meningkat lebih dari 1,5 derajat celcius di atas suhu udara pada era pra-industri. Istilah-istilah pemanasan global, perubahan iklim, cuaca ekstrem, banjir bandang, serta tanah longsor yang menceritakan memburuknya kondisi bumi sering ditemui di berbagai media.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan kerja sama berbagai pihak, termasuk para ahli linguistik yang mempelajari bahasa dalam konteks sosial dan budaya penuturnya. Hal ini dikarenakan persepsi manusia mengenai lingkungan diperoleh melalui bahasa, sehingga keterlibatan ahli linguistik dalam upaya penyelamatan lingkungan juga dibutuhkan.“Para ahli linguistik ini bertugas untuk membangun wacana positif yang dapat menyadarkan penutur bahasa peduli terhadap lingkungan dengan pemakaian leksikon, konstruksi sintaksis, dan berbagai aspek lainnya,” tutur Dosen Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Suhandano, M.A yang dikukuhkan dalam jabatan Guru Besar Bidang Linguistik Antropologis, Selasa (11/2).
Dalam pidatonya, Prof. Suhandana menyampaikan hubungan antara bahasa dan lingkungan menjadi objek kajian cabang linguistik yang disebut ekolinguistik. Di Indonesia, studi ekolinguistik ini dikelompokkan berdasarkan keragaman bahasa, kearifan lokal terhadap lingkungan, kepunahan bahasa, dan kesadaran ekologis. Menurutnya, wacana pemberitaan di media massa juga perlu pula dianalisis dalam perspektif ekolinguistik karena pengaruhnya yang besar terhadap opini publik. “Selain mencerminkan pandangan penulis mengenai topik yang diberitakan, pemberitaan di media massa akan mempengaruhi persepsi publik terhadap topik tersebut,” jelasnya.
Ia mengambil contoh penelitian tentang wacana pemberitaan perubahan iklim di media massa dalam sepuluh tahun terakhir menyebutkan bahwa perubahan iklim masih didudukkan sebagai isu global yang menjadi tanggungjawab pemerintah dan organisasi internasional. Masyarakat sebagai pembaca belum dilibatkan dalam wacana perubahan iklim. Pemberitaan tentang perubahan iklim didominasi oleh tema tentang sains, fenomena alam yang natural, alih-alih sebagai fenomena yang dipicu oleh perilaku manusia. Padahal manusia merupakan bagian dalam suatu ekosistem, namun wacana perubahan iklim selama ini cenderung dikonstruksi sebagai fenomena alam belaka. Kesadaran ekologis mencakup pengetahuan tentang peran manusia sebagai subjek dalam ekosistem yang mengatur lingkungan sebagai sumber daya penghidupan juga perlu diwacanakan. “Media massa sebagai subjek yang membentuk persepsi publik memiliki kesempatan untuk membagikan narasi yang bersifat ekosentris,” ungkapnya.
Bahasa, bagi Suhandana, tidak hanya mencerminkan pandangan dunia penuturnya terhadap lingkungan, tetapi juga dapat mempengaruhi cara berpikir serta bertindak bagi para penutur. Penelitian bahasa perlu diarahkan untuk membantu dalam mengatasi krisis lingkungan yang sekarang sedang dihadapi penghuni planet ini. Ia menyerukan agar para ahli bahasa dapat terus memproduksi dan mereproduksi wacana positif yang memberikan kesadaran atas peran manusia di dalam ekosistem. Pemakaian bahasa yang dapat mendorong orang abai terhadap lingkungan perlu dihindari, sebaliknya, pemakaian bahasa dalam wacana apapun sebaiknya mampu membangkitkan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. “Ahli bahasa memang tidak memegang kunci dalam memecahkan masalah lingkungan, tetapi dapat menulis petunjuk penggunaannya,” tegas Ketua Program Studi Magister Linguistik FIB UGM ini.
Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A menyebutkan bahwa Prof. Suhandana merupakan salah satu dari 525 Guru Besar aktif di UGM, dan salah satu dari 17 Guru Besar yang pernah dimiliki oleh FIB UGM.
Penulis: Triya Andriyani
Foto: Donnie