Ekonom UGM Dr. Dumairy menilai bahwa masih terlalu dini untuk menilai secara subjektif kinerja ekonomi Kabinet Merah Putih, sebab program kerja yang diemban oleh kabinet tidak seluruhnya bawaan atau program kerja baru. Beberapa program kerja yang masih berjalan merupakan program kerja warisan atau turunan kabinet sebelumnya, yaitu Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. “Tidak gampang (untuk menjalankan program turunan) karena tidak semuanya inisiatif Prabowo-Gibran,” ujar Dumairy dalam diskusi yang bertajuk “Prediksi Masa Depan Demokrasi Ekonomi dan Politik di Pemerintahan Baru” di Gedung Pusat Antar Universitas (PAU), Sekolah Pascasarjana UGM, Jumat (31/1).
Soal target pembangunan ekonomi tahun 2025 yang digadang-gadang akan menurunkan angka kemiskinan ekstrem. Bahkan tingkat pengangguran ditargetkan akan menurun dan indeks modal manusia akan meningkat. Dumairy menilai target pembangunan ekonomi tersebut harus dibarengi pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan merata maka target tersebut akan tercapai. “Prioritas pembangunan ekonomi harus disertai dengan pertumbuhan ekonomi. Namun kondisi sekarang menunjukkan bahwa prioritas pertumbuhan kurang konstitusional,” ujar Dumairy.
Dumairy mengusulkan agar pembangunan ekonomi Indonesia lebih mengedepankan semangat keindonesiaan, pemerintah dapat menata ulang kepemilikan penguasaan sumber daya ekonomi, seperti tambang dan lahan. Selain itu, skema hilirisasi dapat dibuat lebih merakyat sehingga masyarakat juga dapat turut menikmati hasilnya. “Masyarakat harus mendapatkan manfaatnya,” katanya.
Sementara Sosiolog politik UGM Dr. Arie Sujito menyoroti tentang masalah kinerja BPJS belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Oleh karena itu diperlukan reformasi dalam sistem pelayanan kesehatan untuk mengatasi ketidakadilan dalam klaim dan memastikan manajemen yang lebih efisien. “Jangan sampai ada ketidakadilan dalam sistem pelayanan kesehatan,” ujar Arie.
Selain itu, Arie juga menyoroti masih tingginya biaya pendidikan membuat akses masyarakat terhadap pendidikan semakin sulit, dan alokasi anggaran yang tidak memadai hanya memperparah situasi pembangunan SDM di tanah air. Kampus sebagai institusi pendidikan seharusnya difokuskan pada peningkatan kualitas pendidikan, bukan pada proyek-proyek yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, seperti terlibat dalam pertambangan. “Demokratisasi pendidikan yang berlebihan membuat jebakan pertarungan antar kampus gara-gara tambang nantinya,” katanya.
Namun, Arie masih percaya bahwa situasi ini dapat dikendalikan apabila masyarakat, terutama mahasiswa, berkonsolidasi untuk melakukan perubahan. Apabila masyarakat cepat puas dengan keadaan yang ada, transformasi ekonomi dan demokrasi politik akan sulit terjadi. Sebaliknya, suatu pergerakan mahasiswa dengan proses konsolidasi yang kuat akan mendorong transformasi demokrasi, seperti saat mahasiswa turun ke jalan untuk menuntut pembatalan PPN 12%. “Saya percaya mahasiswa bisa menjadi agen-agen yang potensial dalam mendukung transformasi demokrasi,” pungkasnya.
Penulis : Tiefany
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Freepik