Program transmigrasi di Indonesia memiliki sejarah panjang yang dimulai bahkan sebelum kemerdekaan. Pada era Presiden Soeharto, terutama pada tahun 1970-an hingga 1980-an, program ini mengalami peningkatan besar-besaran dengan memindahkan ratusan ribu hingga jutaan orang terutama dari Pulau Jawa ke luar Jawa. Pelaksanaan program transmigrasi bukan tanpa risiko. Salah satu tantangan yang dihadapi dalam program transmigrasi ini adalah adanya potensi polarisasi antara penduduk asli dan transmigran. “Polarisasi ini dapat terjadi ketika suku atau kelompok budaya tertentu mendominasi wilayah baru sehingga menimbulkan ketegangan dengan penduduk lokal,” kata Dosen Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM, Muhammad Ryan Sanjaya, S.E., M.Int.Dev.Ec., Ph.D., Jumat (25/10).
Lebih lanjut, Ryan menyoroti potensi konflik lain yang mungkin timbul dari program transmigrasi ini adalah munculnya kesenjangan sosial. Para pendatang cenderung lebih sukses dan bisa memperluas lahan mereka pada akhirnya memicu kecemburuan sosial. “Kondisi ini bisa menciptakan kompetisi positif dan kemakmuran, namun disisi lain dapat menjadi bibit konflik,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa catatan penting yang perlu diperhatikan dalam program transmigrasi adalah kesiapan para transmigran mengenai situasi di wilayah yang akan dituju. Dengan syarat utama bagi transmigran sudah harus menikah, Ryan berpendapat bahwa pemerintah perlu mengikat para transmigran dengan syarat tertentu dengan harapan mereka bukan hanya mencari keuntungan sesaat lalu menghilang.
Meski demikian, Ryan mengatakan dari beberapa kajian menunjukkan keberhasilan program transmigrasi. Program ini dianggap berhasil dalam beberapa aspek seperti menurunkan konflik di beberapa daerah meskipun prosesnya tidak selalu berjalan mulus. “Program transmigrasi sebenarnya memiliki banyak catatan positif. Banyak yang beranggapan transmigrasi dapat menciptakan konflik, tetapi yang ditemukan sejumlah peneliti justru di banyak tempat justru memiliki tingkat konflik yang relatif rendah,” jelasnya.
Namun, Ryan juga menyampaikan perlunya program transmigrasi dilaksanakan secara berkelanjutan dengan menjaga hubungan yang baik dengan masyarakat lokal. Para transmigran diharapkan tidak bergerak sendiri tanpa melibatkan masyarakat setempat. Dari sisi ekonomi, jika ada lahan kosong yang tidak memiliki human capital, kehadiran transmigran akan memberikan dampak positif. Mereka akan berproduksi di wilayah tersebut dan turut membangun ekonomi lokal.
Menurut hemat Ryan, pemerintah masih perlu menyelenggarakan program transmigrasi. Sebab program ini diperlukan sebagai bagian dari upaya redistribusi penduduk untuk mengatasi kepadatan di Pulau Jawa. “Saya rasa tetap perlu ada fasilitasi dari pemerintah untuk melakukan redistribusi karena faktanya mayoritas penduduk mengumpul di Jawa sedangkan di luar Jawa masih banyak wilayah yang kosong dan belum dikembangkan dengan baik,”pungkasnya.
Reportase : Shofi Hawa Anjani
Penulis : Kurnia Ekaptiningrum/Humas FEB
Editor : Gusti Grehenson