
Rencana pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara alias BPI Danantara banyak mendapat sorotan dari publik. Meskipun Danantara merupakan inisiatif yang diharapkan dapat memperbaiki kinerja dan tata kelola aset negara, namun kemunculan badan ini terjadi di saat pemerintah tengah diterpa berbagai isu mengenai berbagai kebijakan yang menuai pro dan kontra di masyarakat. Padahal apabila dilihat dari perspektif ekonomi dan manajemen, pendirian Danantara merupakan hal yang lumrah. Layaknya sebuah holding company atau parent company, Danantara rencananya akan membawahi beberapa BUMN mengelola dana yang diperkirakan mencapai Rp14 ribu triliun.
Ekonom Universitas Gadjah Mada, Eddy Junarsin, mengungkapkan program ini harusnya sudah didesain dan diimplementasikan sejak lama, namun sayangnya diluncurkan di momentum yang kurang kondusif. Pasalnya, pemerintah saat ini tengah diterpa berbagai isu sosial-politik dari berbagai program yang diperdebatkan publik seperti program efisiensi anggaran, makan bergizi gratis, revisi UU Minerba, dan lain-lain. “Sayang sekali kemunculannya kena imbas isu politik,” terangnya, Jumat (21/2).
Eddy menilai pendirian Danantara sebenarnya bertujuan positif untuk mengkonsolidasi pengelolaan aset negara dari perusahaan BUMN agar lebih transparan dan terkoordinasi dengan baik dimana masing-masing perusahaan akan lebih terbuka dengan adanya holding company yang menunjuk dan mengawasi dewan komisaris dan dewan direksi secara langsung. Selama ini penunjukan dewan komisaris dan dewan direksi dilakukan oleh kementerian dimana dasar penunjukan seringkali tidak disertai alasan dan evaluasi yang memadai. “Selama ini pengawasan dari pemerintah adalah melalui penunjukan dewan komisaris dan dewan direksi oleh kementerian sehingga sifatnya itu tidak terlalu binding. Dengan adanya Danantara, monitoring dari parent company akan lebih transparan dan efektif”, jelasnya.
Namun di sisi lain, Eddy berpendapat pendirian Danantara ini juga dapat berpotensi mengurangi performa BUMN. Pasalnya, adanya holding company berpotensi menambah layer hierarkis yang tentu saja akan menambah panjang proses birokrasi. Bertambahnya layer manajemen berisiko membuat kebebasan berkreasi dari tiap-tiap BUMN justru akan menurun. “Manfaat Danantara itu lebih ke defensif bukan ke ofensif. Artinya, transparansi dan tata kelola mungkin membaik namun performa dan inovasi belum tentu,” paparnya.
Dalam merealisasikan Danantara ini, ia menegaskan sebaiknya harus ada langkah lanjutan dan tidak berhenti sampai pembentukan holding company. Danantara perlu merancang merjer dan akuisisi berbagai perusahaan pemerintah agar semakin efektif dan efisien, manajemen tidak berlapis-lapis, dan lincah dalam berinovasi.
Menurutnya, yang paling diharapkan adalah kemunculan badan pengelola investasi ini bisa mengantisipasi terjadinya moral hazard karena melalui bentuk holding company yang resmi, pengawasan lebih transparan. “Dari sisi kontrol dan transparansi itu membaik, tapi potensi negatifnya adalah dari sisi inefisiensi birokrasi,” ungkapnya.
Soal dampak kehadiran Danantara bagi perekonomian nasional, Eddy menilai memang memainkan peranan pada kestabilan keuangan negara di jangka panjang. Namun mengenai kepercayaan investor terhadap stabilitas dan keperluan investasi, perlu dikaji lebih jauh oleh pemerintah lembaga riset. “Mungkin dampaknya di jangka pendek hanya berjalan seperti biasa, tapi jangka panjang kita tidak tahu keefektifannya, karena persamaan ekonomi itu saling berkaitan dan cukup kompleks,” jelasnya.
Penulis : Jelita Agustine
Editor : Gusti Grehenson
Foto : Bisnis.com