Bencana banjir dan tanah longsor hebat yang melanda Sumatera memperlihatkan salah arah model pembangunan yang berorientasi pada ekstraksi sumber daya alam. Selain lebih menguntungkan elite, model pembangunan tersebut melemahkan daya dukung lingkungan yang berakibat meningkatkan risiko bencana yang mesti ditanggung masyarakat luas. Data terbaru dari situs BNPB, Kamis (11/12) mencatat total korban tewas berjumlah 986 orang. Terdapat 224 orang dinyatakan masih hilang dan 5.100 orang terluka. Bencana inipun berdampak pada 52 kabupaten/kota di tiga provinsi. BNPB juga mencatat ada 157,9 ribu rumah rusak, dan sekitar 800 ribu jiwa masih menjadi pengungsi akibat bencana. Bencana juga merusak 1.200 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 581 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, hingga 498 jembatan.
Menurut perhitungan CELIOS, kerugian daerah mencapai Rp 2,04 triliun di Aceh, Rp 2,07 triliun di Sumut, dan Rp 2,01 triliun di Sumbar. Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan ikut terdampak dengan kerugian sekitar Rp 2 triliun per provinsi karena akses transportasi memukul pergerakan barang konsumsi dan pasokan industri. Sementara Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan, biaya pemulihan daerah terdampak di Aceh, Sumut, dan Sumbar mencapai Rp 51,82 triliun.
Lagi-lagi soal perhitungan bahwa besarnya kerugian dan biaya yang dibutuhkan untuk rekontruksi tidak sebanding dengan pendapatan negara yang didapatkan dari kegiatan ekstraksi sumber daya alam yang menjadi faktor utama bencana kali ini. Perhitungan Celios menyebut penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor tambang di Aceh per 31 Agustus hanya Rp 929 miliar, dana bagi hasil (DBH) perkebunan sawit Aceh Rp 12 miliar, sementara DBH mineral dan batubara Rp 56,3 miliar pada 2025. Total pendapatan ini jauh di bawah kerugian di Aceh akibat bencana yang mencapai Rp 2,04 triliun. Bahkan Celios memperkirakan, kerugian ekonomi akibat bencana ini mencapai Rp 68,67 triliun. Ada banyak bukti memperlihatkan besarnya skala banjir dan tanah longsor di Sumatera kali ini terkait dengan kerusakan lingkungan di kawasan ini. Deforestasi dan degradasi hutan di kawasan hulu membuat fungsi alam sebagai penyerap air dan penahan erosi menjadi hilang sehingga ketika hujan ekstrem terjadi akibat siklon tropis Senyar, banjir dan tanah longsor besar melanda kawasan di hilir.
Prof. Dr. Djati Mardiatno, S.Si., M.Si., Guru Besar Bidang Geomorfologi Lingkungan UGM tak menampik kenyataan dampak dari model pembangunan ekstratif. Iapun berpendapat pembangunan ekstraktif akan selalu menurunkan daya dukung lingkungan hidup (DDLH) dan salah satu dampaknya meningkatnya kerentanan terhadap bencana. Kerusakan hutan dan perubahan tata air akibat ekstraksi, disebutnya, meningkatkan risiko bencana ekologis seperti banjir bandang, tanah longsor, dan banjir luapan sungai. “Banjir dan longsor di wilayah Sumatera yang baru saja terjadi, misalnya, sering dikaitkan dengan model pembangunan ekstraktif tersebut,” katanya di Kampus UGM, Jum’at (12/12).
Djati menandaskan bagaimanapun pembangunan ekstraktif banyak menimbulkan dampak sosial-ekologis. Diantaranya terjadi perampasan ruang hidup masyarakat adat dan lokal yang membuat mereka terusir dari tanah mereka sendiri karena wilayahnya dialihfungsikan menjadi area konsesi ekstraktif. Alihfungsi tersebut kenyataan merampas hak mereka atas lingkungan yang aman dan layak huni. Bahkan kesejahteraan yang dihasilkan dari model pembangunan ekstratif dinilainya sebagai kesejahteraan semu. “Meski pembangunan ekstraktif sering digadang sebagai pilar ekonomi, namun beberapa riset menunjukkan desa-desa di sekitar area pertambangan justru rentan terhadap kesulitan sosial, seperti pendidikan yang lebih rendah, kesulitan akses air bersih, dan kerentanan terhadap bencana,” terangnya.
Iapun mengingatkan pembangunan ekstraktif tanpa tata kelola yang ketat (good governance) dan prinsip berkelanjutan (sustainability) tetap berpotensi merusak daya dukung lingkungan. Bahkan berdampak menimbulkan krisis sosial-ekologis, dan kerusakan-kerusakan lingkungan yang ditimbulkan pembangunan ekstraktif diantaranya pencemaran, deforestasi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. “Eksploitasi berlebihan yang melampaui kemampuan alam tentu membuat kesulitan untuk memulihkan diri,” ungkapnya.
Djati Mardiatno berpandangan ada beberapa hal bisa dilakukan guna menjamin keberlanjutan lingkungan hidup dan meminimalisir bencana yang mungkin terjadi di masa depan. Menurutnya sangat perlu menetapkan dan mematuhi batas Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (D3TLH) sebagai sistem peringatan dini kerusakan lingkungan. Baginya, perlu juga untuk mempertimbangkan faktor risiko bencana dalam proses perencanaan pembangunan di wilayah yang akan dimanfaatkan. “Sudah saatnya pemerintah menerapkan moratorium izin dan bertindak tegas terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan dalam operasional usaha atau kegiatannya, dan sudah saatnya juga mengalihkan model pembangunan dari model ekonomi ekstraktif yang umumnya bersifat eksploitatif dan merusak menuju model pembangunan yang lebih bijaksana, inklusif, dan berkelanjutan,” tuturnya.
Penulis : Agung Nugroho
Foto : CNBC Indonesia
